Oleh Gunawan Budi Susanto

Kita tak bisa memilih dilahirkan siapa. Kita tak pernah ditanya di mana ingin dilahirkan. Kita tak bisa mengelak dilahirkan sebagai bocah Jawa, Tionghoa, Papua, Atjeh, Sulawesi, Sunda, Batak, Minang, Dayak, Maluku, Melayu, Timor, Flores, dan lain sebagainya. Bahkan, celaka, kita seperti tak berhak pula memilih agama dan bahkan Tuhan kita masing-masing bukan?

Kenapa semua itu terjadi? Kapan? Dan, bagaimana pula kita menerima kenyataan tak terbantahkan itu? Pernahkah sampean mempertanyakan perkara itu pada diri sendiri dan berupaya menjawab sejujur dan seterang mungkin?

Kita tak pernah ditanya dan diberi kesempatan memilih lahir kapan dan di mana, oleh siapa, sebagai etnis apa, laki atau perempuan. Siapa pencipta kita – yang tak memberi kesempatan untuk bertanya dan memilih sebelum kita dilahirkan? Jika sampean ateis, boleh jadi bakal menjawab: kita lahir sebagai konsekuensi logis belaka dari proses alam — dari jasad renik berkembang menjadi makhluk kompleks, antara lain, manusia macam kita. Dan, itu lewat proses evolusi jutaan tahun.

Namun, jika sampean memercayai – dan saya percaya – kita serta segala apa di alam semesta, baik benda mati maupun hidup, diciptakan Tuhan – dengan segala penamaan lain: Allah, Gusti Allah, Sang Hyang Widi – diciptakan bukan sebagai buah keisengan belaka bukan? Jika kita bukan buah keisengan Tuhan, ada pertanyaan lanjutan: apa tujuan dan tugas atau amanat yang kita emban, baik sebagai pribadi maupun bersama-sama?

Dulu, pada masa Musa, ada 10 Perintah  Tuhan. Pertama, jangan ada Allah lain selain Aku. Kedua, jangan membuat patung menyerupai apa pun yang kemudian kamu sembah sebagaimana menyembah Aku. Ketiga, jangan menyebut nama Tuhan secara sembarangan. Keempat, kuduskanlah Hari Sabat. Kelima, hormatilah ayah dan ibumu. Keenam, jangan membunuh. Ketujuh, jangan berzinah. Kedelapan, jangan mencuri. Kesembilan, jangan berdusta. Kesepuluh, jangan mencuri.

Berabad-abad kemudian, di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, ada Samin Surosentiko – yang mengajarkan pertikel pasip, perlawanan tanpa kekerasan (menolak membayar pajak, menolak kerja paksa, menolak sekolah formal di sekolah gubernemen, menolak mengandangkan hewan ternak di kandang yang dibangun pemerintah kolonial, dan lain-lain). Perlawanan itu dia tujukan kepada kekuasaan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bermula dari dialah berkembang-biak komunitas, yang kelak, disebut Sedulur Sikep atau Samin – yang menyebar ke berbagai kawasan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur: Grobogan, Kudus, Pati, Rembang, Bojonegoro, Tuban, Ngawi, Nganjuk, Ponorogo, bahkan Banyuwangi. Pada 1911, Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang Belanda ke Sawahlunto, Sumatera Barat, dan meninggal di sana pada 1914.

Nah, ajaran Samin untuk menjalani kehidupan antara lain berupa angger-angger (pedoman): aja drengki srei, aja dahwen ati open, aja kemeren, aja ngutil, aja colong jumput, aja mbedhog – jangan dengki, jangan berprasangka buruk, jangan iri hati, jangan bertengkar, jangan mencuri, jangan merampok.

Kini, saya (yang masih berupaya menjadi muslim) “meringkas” perintah atau larangan Gusti Allah menjadi satu kalimat: jangan bikin kerusakan di muka bumi. Itu selaras dengan ungkapan Jawa: memayu hayuning buwana.

Membaca Segala

Gambaran sekilas soal bagaimana menjalani hidup dari Musa sampai Samin itu mencerminkan tugas atau amanat bagi kita: tidak bikin kerusakan di muka bumi, agar bisa memperindah keindahan di dunia. Nah, bagaimana mengejawantahkan larangan dan kehendak – yang menjadi tugas dan amanat bagi kita itu? Bermula dari mana, sehingga kita bisa menjalankan amanat?

Perintah pertama Gusti Allah kepada Nabi Muhammad – iqra, iqra, iqra (baca, baca, baca) – bisa kita jadikan acuan. Membaca apa? Membaca segala apa, terutama ayat Tuhan yang tergelar di alam semesta! Dan, bagaimana cara membacanya? Pramoedya Ananta Toer — penulis, sastrawan, sejarawan – pernah berujar, “Seorang terpelajar harus belajar adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Ya, membaca secara adil sejak dalam pikiran dan kelak mewujudkan pula secara adil dalam perbuatan. Itulah laku yang seyogianya diperbuat kaum muda, terutama kaum muda terpelajar – seperti sampean.

Bagaimana bisa berpikir dan berlaku adil? Asah kepekaan. Bagaimana mengasah kepekaan? Baca keadaan, kahanan. Bagaimana membaca keadaan? Jangan takut salah, jangan takut keliru, jangan takut menghadapi kesulitan, jangan takut menemu hambatan. Nah, lagi-lagi Pramoedya menyodorkan aforisma, ungkapan, soal kaum muda dan ketakutan. Dia bilang, “Kaum muda tanpa keberanian ibarat hewan ternak semata.”

Nah, sampean bukan ternak bukan? Kaum muda yang peka dan berani menyatakan kesaksian soal keadaan zaman, misalnya, adalah grup yang menyanyikan lagu ini. Inilah lagu berjudul “Ana Cecak Nguntal Baya” yang didendangkan Hip Hop Jogja Foundation. Simaklah.

Ana cecak nguntal baya
Baya coklat nyekel gada
Aja seneng nguntal negara
Mundhak rakyatmu dadi sengsara
Ana cecak nguntal baya
Baya coklat nyekel gada
Aja seneng nguntal negara
Mundhak rakyatmu dadi sengsara 

Ini cerita negeri bedebah
Pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan susah
Hasil dari mengais sampah 

Di negeri para bedebah
yang baik yang bersih bisa salah
Kebohongan itu lumrah
Rakyat kecil hanya bisa pasrah
Bubrah parah!
Bubrah parah bubrah! 

Refrain:
Ana cecak nguntal baya
Baya coklat nyekel gada
Aja seneng nguntal negara
Mundhak rakyatmu dadi sengsara
Ana cecak nguntal baya
Baya coklat nyekel gada
Aja seneng nguntal negara
Mundhak rakyatmu dadi sengsara

 Rakyat mencari pimpinan ketemunya juragan
Rakyat mencari imam ya imam ketemunya tuan
Maka janganlah jangan heran jika ada mafia di peradilan
Jual-beli pasal dan hukuman yang kuat bayar pasti menang
Katanya jaman sudah reformasi
Tapi hukum masih bisa dibeli
Jadi barang dagangan objek korupsi
Gak punya malu dan harga diri. 

Bibit itu tunas
Chandra itu sinar
Yang menjadi simbol tegaknya keadilan
Langkah kecil telah dimulai
Dari bayi bernama demokrasi
Keadilan tak bisa ditawar lagi
Kepastian hukum adalah harga mati
Mungkin kita capek revolusi
Mungkin kita bosan demonstrasi
Tapi jangan pernah berhenti
Paling tidak tunjukkan rasa peduli
Untuk Indonesia yang kita cintai.

Mereka bisa menciptakan lagu macam itu, lantaran bersedia membaca keadaan dengan kepekaan, lalu karena punya keberanian lantas menyatakan kesaksian. Tanpa kepekaan, tak ada kesaksian yang kritis macam itu.

Nah, apalagi yang sampean tunggu? Nyatakan kesaksian sampean – dalam karya: tulisan, lukisan, nyanyi, tari, dan apa saja. Kesaksian itulah yang menjadi sumbangan berharga bagi kehidupan bersama: menuju keadaan yang lebih baik bagi sesama.

Sekian.

Patemon, 24 Februari 2016: 04.22

*Tulisan ini pernah disampaikan sebagai prasaran untuk “Open Mind Anggota Magang BP2M Universitas Negeri Semarang 2016”, Rabu, 24 Februari 2016. Dimuat kembali di website ini sebagai bahan pembelajaran.

*Gunawan Budi Susanto adalah Pengelola Kedai Kopi Kang Putu, Jalan Kampung Gebyog, Gunungpati, Semarang.

Leave a comment