Oleh Rengganis Rillisia Dirgantari

“Wanita adalah tiang negara, apabila dia baik maka baiklah negara, dan apabila dia rusak maka rusaklah negara itu.”

-Soekarno

Begitulah sepenggal kallimat yang ditulis Sukarno dalam bab pertama bukunya yang berjudul Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia. Melalui Sarinah inilah, Bung Karno membicarakan perempuan secara khusus,mulai dari kehidupan dan nasib perempuan, posisi mereka, gerakan perempuan di dunia, feminisme, sampai pada harapan Bung Karno bagaimana semestinya perempuan itu diperlakukan dan bagaimana semestinya perempuan itu melakukan sesuatu.

Di awali dengan soal perempuan dalam keluarga dan masyarakat, suatu hari Sukarno bertamu ke rumah temannya, bersama sepasang suami-istri yang merupakan temannya juga. Ketika istri teman Bapak Revolusi Indonesia itu menanyakan akan keberadaan sang nyonya rumah, dengan agak malu sang tuan rumah berkata, “ Istri saya sedang tidak di rumah, sedang menengok bibinya yang sakit”.  Yang tidak disangka, saat Bung Karno melihat sepintas ada sepasang mata perempuan yang mengintip di balik kain tempat para tamu tengah berbincang, tanpa ragu, itu adalah si nyonya rumah yang katanya sedang tidak di rumah! Begitulah, kaum laki-laki memperlakukan istri-istri mereka—perempuan hanya diibaratkan sebagai sebuah “mutiara” yang harus disimpan, ditutup dari dunia luar, agar tetap aman. Seperti kata Prof. Havelock Elis yang mengatakan; perempuan itu dipandang sebagai “suatu blasteran antara Dewi dan seorang tolol”.

Mengapa kaum perempuan yang oleh Bung Karno disebut “Sarinah-sarinah” ini sering dianggap lemah, kecil, dan bahkan hanya sebagai penanak nasi dan melahirkan keturunan saja? Fakta yang dikemukakan oleh Prof. Heymas dan seorang feminisme,  Henriette Roland Holst, bahwa kaum perempuan sering direndahkan oleh kaum laki-laki, disebabkan karena bentuk tubuh yang kecil, pendek, dan kekuatan fisiknya dibawah laki-laki. Hal ini benar, jika dilihat dari ukuran fisik yang memang tak terbantahkan. Tapi yang lebih parah ialah saat para ahli Eropa menyudutkan sarinah-sarinah dengan kepintarannya, yang jauh di bawah kaum adam, sehingga mereka dianggap dan dicap sebagai makhluk bodoh! Waktu membuktikan bahwa “alasan otak” ini adalah alasan kosong, yang sengaja dibuat untuk menyombongkan kaum laki-laki. Henriette R. Holst, membuktikan bahwa ketajaman otak perempuan dan laki-laki sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, serta kesempatan berkembangnya saja yang tidak sama.

Mungkin terlupa atau bahkan tidak diingat sama-sekali oleh para laki-laki, yang dengan sombong, membungkam kemerdekaan perempuan dan selalu menyudutkan mereka. Kaum lelaki kerap luput untuk mengingat bahwa pada masa purbakala, jauh sebelum patriatchat, matriarchat atau hukum peribuanlah yang pertama kali muncul—yang dengan itu, mencatat bahwa kaum hawa lah yang memegang kekuasaan dan berada diatas kaum adam. Diawali dengan masa berburu dan mencari ikan, dimana laki-laki banyak diluar untuk mancari makanan, sedangkan perempuan hanya dirumah untuk memelihara api siang dan malam, seperti kata Bebel; perempuan adalah budak, sebelum ada budak, keadaan berubah ketika dimulainya masa bercocok tanam, yang mana, makhluk pertama yang mendapatkan ilmu bercocok tanam ialah perempuan. Maka sejak itu, mulailah ia (perempuan). Ini merupakan awal dari hukum peribuan, hukum keturunan pertama di muka bumi. Pada zaman peribuan ini, bentuk tubuh perempuan besar-besar, sigap badannya, cerdas dan lebih tangkas dibanding laki-laki, hingga pada akhirnya zaman telah berganti.

Revolusi patriarchat (zaman kebapaan), yang mana, laki-laki mulai “memborong” pekerjaan pertanian dan menggeser kekuasaan perempuan, telah membuat kaum perempuan kembali dalam masa-masa keterbelakangannya. Revolusi patriarchat ini, bukanlah revolusi yang memerdekakan kaum laki-laki, dengan memelihara kemerdekaan perempuan. Revolusi ini justru menciptakan situasi untuk memerdekakan kaum laki-laki, dengan mengorbankan kemerdekaan perempuan. Namun pada dasarnya: perempuan lah petani yang pertama, perempuan lah pembangun kultur yang pertama, dan perempuan lah pembuat hukum yang pertama.

Keadaan keterbelakangan yang dipangku perempuan, tetap lah sama—dimana perempuan hanya dianggap pendamping di belakang laki-laki—hingga abad kedelapan belas, saat terjadinya Revolusi Industri. Dalam masa ini, terdapat tiga tipe perempuan yang masih ada hingga saat ini: Pertama, perempuan yang bekerja namun tetap mengurusi kebutuhan keluarga. Kedua, perempuan yang terpaksa menjual dirinya. Dan ketiga, perempuan yang dinamakan “Nyonya”—yang merupakan tipikal perempuan bangsawan, yang pintar menggosip. Begitu kata Edward Carpenter.

Sampai pada pembahasan baru, muncul pertanyaan yang cukup sensitif mengenai bagaimana membangkitkan feminisme di kalangan kaum perempuan? Tak dapat dipungkiri, banyak pihak yang menganggap bahwa kebebasan sarinah-sarinah pada masa kini, akan muncul dengan diadakannya kembali sistem matriarchat diatas. Dalam pandangan Bapak Proklamator kita, anggapan seperti ini merupakan pemikiran yang sempit, alias berpikir pendek, yang hanya akan menambah kerunyaman.

Sistem matriarchat berawal pada masa bercocok tanam, dimana kaum perempuan menjadi pemimpin dengan kedudukan sebagai produsen masyarakat yang terpenting. Ditambah lagi, garis keturunan yang sesuai dengan garis ibu bukan bapak (sistem patriarchat). Dan coba diingat, bahwa sistem ini berlaku pada masa purbakala, dengan keadaan masyarakat, status, dan abad yang jauh berbeda. Tak dapat dibayangkan, jika diabad ke-21 ini, seorang perempuan memiliki banyak suami, dan anak-anak yang berbeda darah—serupa dengan masa-masa ketika sistem matriarchat berlaku di hampir seluruh penjuru dunia.[i] Hal ini, jelas sangat sulit untuk dibayangkan.

Kemudian, mari membahas tentang lahirnya sistem patriarchat yang akan membuka mata kita, bahwa tanpa sadar kaum perempuan kembali terenggut “kebebasannya” bahkan jauh lebih dalam ketimbang sebelum adanya matriarchat.  Ironisnya, sistem inilah yang masih bertahan hingga saat ini. Bagi kaum laki-laki, hukum perbapaan adalah suatu kemajuan, dimana posisi laki-laki yang tadinya dibawah ketiak kaum perempuan, kini menjadi diatas kepala perempuan. Namun,semua menjadi dipaksakan bagi kaum perempuan dan kekuasaan kaum laki-laki menjadi kelewat batas, yaitu dalam bentuk “mendewakan” sang pencari sumber penghidupan. Yang tidak adil bukan hukum perbapaan itu, melainkan ekses-ekses hukum perbapaan itu, berupa “kelewat batasan-kelewatbatasan” hukum perbapaan itu sendiri.

Bagaimana perempuan mulai menjadi “milik” satu orang laki-laki, dengan status perkawinan dan sekaligus menjadi ibu bagi anak-anaknya kelak. Disini pulalah, kaum perempuan mulai disudutkan dengan “ kodrat alam” sebagaimana seorang perempuan diperlakukan, dimana ia harus menurut, dan menjadi teman ranjang bagi suaminya. Di lain sisi, terdapat kaum perempuan yang menjadi sundal (pelacur) karena tekanan sosial, dan juga adanya phobia kekangan sistem patriarchat. Sebelum lebih jauh, Sukarno menjelaskan perbedaan mendasar antara sundal dan pelacur, kaum sarinah yang terpaksa menjadi sundal ialah mereka yang akan memuaskan hasrat jahanam kaum laki-laki yang mampu membayar tinggi, dan biasanya ia dapat memilih sendiri laki-laki yang akan ia layani. Sedangkan kaum sarinah yang menjadi pelacur, ialah mereka yang tak seberuntung para sundal, dimana ia harus melayani banyak laki-laki dan bayarannya terkadang tak seberapa.

Kemudian, ada juga kaum perempuan yang karena hukum adat yang memberikan “harga tinggi” untuk sebuah pernikahan, yang pada akhirnya, menyebabkan para perempuan menjadi “bunga layu” perawan yang menua tanpa menikah. Yang semacam ini, di tanah air kita, banyak dijumpai di luar Jawa yang memang adat-istiadat dan masyarakatnya masih kolot dan menyampingkan kaum perempuan.

Sampai disini pembahasan akan matriarchat dan patriarchat. Sekarang berganti pada topik Wanita Bergerak, yang akan membawa kita bernostalgia pada posisi perempuan sebagai pelopor pergerakan-pergerakan revolusi. Bermula dari perempuan-perempuan Barat yang akan melahirkan pergerakan wanita pertama di dunia, dengan semboyannya yang menggelora: perempuan bersatulah! Lambat-laun pergerakan perempuan di Dunia Barat menyebar ke Dunia Timur melalui Sungai Nil, Sungai Yang Tse, dan Sungai Gangga, dan mulailah muncul “pergerakan wanita” di Benua Biru yang tidak mendidih dan didominasi dengan perjuangan kaum laki-laki saja. Akan tetapi wanita Asia pun sudah mulai ikut di dalam perjuangan untuk seksenya sendiri dan untuk tanah airnya.

Timur meniru kepada Barat, tetapi menirunya belum menyamai segenap tingkatan yang bisa dijadikan teladan. Dari sebelum zaman revolusi Amerika dan Perancis sampai saat ini terdapat tiga tingkatan pergerakan wanita;

  1. Tingkat pertama: Pergerakan menyempurnakan “keperempuanannya” yang cakupannya semisal memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
  2. Tingkat kedua: Pergerakan Feminisme, yang wujudnya ialah memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Program terpenting ialah hak untuk melakukan pekerjaan dan hak pemilihan.
  3. Tingkat ketiga: Tingkatan ini adalah tingkatan terakhir dalam pergerakan wanita di Barat. Dikenal sebagai pergerakan Sosialisme, yang mana wanita dan laki-laki bersama-sama berjuang bahu-membahu, untuk mendatangkan masyarkat sosialistis, dimana wanita dan laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka.

Jika dilihat pada keadaan sarinah-sarinah Indonesia, hingga saat ini mereka baru malakukan tingkatan pertama dan kedua, sedangkan untuk tingkat ketiga yang dipandang tingkatan tertinggi dalam pergerakan wanita, masih belum tercapai. Secara garis besar, faktor yang cukup kuat sebagai penghalang dari pergerakan sarinah Indonesia menuju ke tingkatan tertinggi yakni pergerakan sosialis ialah faktor sosial masyarakat. Meskipun kaum perempuan telah semaksimal mungkin menuntut sama rata dalam term feminism, jika masyarakatnya masih acuh dan memandang sebelah mata maka semua akan sia-sia. Alias perubahan semu belaka!

Dalam pergerakan sosialis itu terdapat tiga jalan demi mewujudkan cita-cita feminisme;

  1. Aksi serikat sekerja.
  2. Aksi koperasi.
  3. Aksi partai politik.

Kemudian sampailah kita pada pembahasan penting dan juga akhir dari pandangan Sukarno terhadap kaum perempuan Indonesia, dengan berkaca pada feminism dan perjuangan perempuan Dunia Barat. Sukarno dengan jelas dan mendalam telah menjelaskan sekaligus menggambarkan keadaan kaum perempuan ketika dipandang, diperlakukan, hingga pada tingkat pergerakannya, demi membuka gerbang kebebasan-kemerdekaannya, yang penuh dan utuh. Lalu bagaimana dengan sarinah-sarinah Indonesia? Masalah perempuan adalah masalah masyarakat, begitu ungkapan August Bebel, yang merupakan seorang kampiun feminisme termasyur dan sering disebut nama dan gagasannya dalam buku ini.

Jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, telah banyak organisasi-organisasi perjuangan seperti Boedi Oetome, Sarekat Dagang Islam, dan partai-partai dengan berbagai ideology yang dianut. Euphoria yang sangat luar biasa, demi jalan panjang kemerdekaan dari para penjajah, sayang seribu saying, organisasi-organisasi tersebut hanya menampung kaum laki-laki, dan hampir tak dijumpai peran kaum perempuan. Dimanakah para sarinah-sarinah kita? Bisa kita tebak jawabnya; ada yang masih khusuk menunggu nasi matang, menyuapi anak-anaknya, dan bahkan ada pula yang masih tetap dipandang sebagai titisan setengah dewa, dan juga setengah orang tolol! Ironis memang, tapi itulah realitanya, tak semanis gula dalam adukan kopi hitam nan menggoda itu bukan?

Seperti telah dijelaskan pada bagian atas tadi, bahwa perempuan Asia memang meniru dengan baik pergerakan-pergerakan dari kaum perempuan Barat, meskipun hanya pada tingkatan pertama dan kedua. Padahal, untuk menciptakan Revolusi Nasional, yang akan melahirkan masyarakat yang sosialis, diperlukan dukungan dan peran serta mutlak dari sosok perempuan. Sukarno percaya bahwa agar sarinah-sarinah dapat merdeka, bebas dari belenggu “kodrat alam” dan “kodrat agama” itu, para sarinah perlu masuk ke dalam tingkatan pergerakan wanita yang ketiga, yakni pergerakan sosialis. Mengapa demikian? Karena dalam tatanan masyarakat yang “sama rasa sama rata” lah kaum perempuan akan menemukan kesadaran dirinya, kemampuan, kekuatan dan juga porsi perjuangan yang seimbang dengan kaum laki-laki. Taka ada hak asasi manusia, ketika para perempuan terus diposisikan terbelakang, serta mendeskriminasikan mereka, dan mengkhianati apa yang mereka perjuangkan.

Tapi hal diatas dapat tercipta dengan kesadaran dan bantuan kaum laki-laki juga. Ya, kaum laki-laki adalah kunci penting dalam menggapai tingkatan ketiga ini. Dari merekalah lahir paham bahwa perempuan itu lemah, tak kompeten, dan tak berhak ikut-ikutan dalam ruang-ruang public, yang akan menentukan seperti apa tatanan masyarakat kelak. Sebelumnya, mari kita tepikan terlebih dahulu segala paham dan pikiran kolot dan kuno akan posisi laki-laki dan perempuan yang telah mengakar dalam diri masing-masing, dan coba kita telaah bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan ialah satu-kesatuan, saling mengisi dan mengosongkan. Saya berbicara ini sesuai dengan isi buku dan juga dalam perspektif sosial-masyarakat.

Konsep feminisme tercipta karena revolusi industri, yang akan membongkar larangan perempuan Barat tidak boleh keluar dan berperan dalam struggle of life (pencari nafkah), dan kemudian akan berkembang ke Perancis dengan gebrakan Madame Lodre yang akan memaksa Raja Perancis mengesahkan “Hak Asasi Manusia”, yang dibuat Majelis Nasional, yang kelak dalam prakteknya justru akan menjadi boomerang bagi perempuan.

Maka sebelum jauh memimpikan feminisme tingkat ketiga, yang mana merupakan tingkatan tertinggi dalam piramida pergerakan perempuan, kaum laki-laki terlebih dahulu harus disadarkan, diarahkan, dibuka mata dan pikirannya akan potensi tersembunyi dari perempuan. Tapi, jangan buta akan makna ini. Yang dimaksud harus disadarkan dan sebagainya ialah hantu kecongkakan patriarchat yang dengan kuat mendarah daging pada kaum laki-laki kita (periode “pemerintahan kaum lelaki”.

Sekalipun tujuannya tidak untuk membela pendirian “perempuan sederajat dengan laki-laki”, atau “perempuan sama rata dengan laki-laki”, setidaknya, bangkitkanlah, sadarkanlah, tuntunlah, dan dukung para sarinah ikut serta secara mutlak (sepenuhnya, bukan setengah-setengah) dalam revolusi kita, guna lahirnya Revolusi Nasional Totaliter. Mungkin inilah pelajaran berharga seperti yang telah dikatakan oleh Gandhi dan ucapan Lenin sebagai berikut :

  1. Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita. (Gandhi)
  2. Jikalau tidak dengan mereka (wanita), kemenangan tak mungkin kita capai. (Lennin)

Kini, kembali ke permasalahan sarinah, yang pada dasarnya hanya dapat diselesaikan oleh sarinah sendiri. Ya, masalah perempuan hanya perempuan sendiri yang dapat menyelesaikannya. Terutama sekali di dalam praktinya, pemecahan soal-soal cabang, soal-soal ranting, yaitu siapa yang dapat menolong sarinah jika sarinah sendiri tidak memecahkannya, tidak berusaha, tidak bertindak, tidak beraksi, tidak pula mencari jalan? Selain itu, tidak boleh ada tenaga yang tercecer. Semua (laki-laki dan perempuan) harus bahu-membahu untuk menciptakan—baik feminisme ataupun sosialis—dengan tujuan satu revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan merdeka sepenuhnya. Ingatlah bahwa revolusi adalah sebuah proses, dan tak ada kata “instan” didalamnya!

[i] Di beberapa tempat, sistem ini masih berlaku dan diadopsi menjadi warisan turun-temurun. Meskipun dengan kadar yang berlainan. (Catatan Editor).

Gambar: berdikarionline.com

Leave a comment