Oleh Saiful Anwar

Isu “kebangkitan PKI” merupakan isu tahunan di Indonesia. Dalam isu itu, komunisme digambarkan sebagai hantu yang merongrong kedaulatan negara Indonesia. Banyak pihak yang kemudian mengamini isu “tahunan” itu, baik militer maupun sipil. Kekhawatiran akan bangkitnya paham komunisme di Indonesia diekspresikan dengan banyak cara, salahsatunya demonstrasi. Namun, pernahkah anda berpikir mengapa golongan Islam Fundamentalis menjadi pihak yang sering mengadakan demo “tolak PKI”? Mengapa mereka bersikeras melawan isu ini?

Jika ditelisik secara historis, konflik antara komunis dengan golongan Islam Fundamentalis sudah ada sejak dulu. Konflik itu memuncak pada masa Demokrasi Liberal (1955-1959) yang mengerucut pada dua kekuatan besar yakni PKI yang mewakili komunisme dan Masyumi yang mewakili golongan Islam fundamentalis. Konflik itu bukan konflik ecek-ecek, sebab melibatkan dua partai besar yang ada pada waktu itu.

Untuk mengurai  benang merah konflik komunis dan islam fundamentalis itu saya akan sedikit menguraikan  jejak sejarah konflik PKI dan Masyumi. Semoga pembaca bisa mengikuti

***.

Setelah mengalami kehancuran pada peristiwa Madiun 1948, PKI mulai bangkit. Kader-kader yang sebelumnya bergerak di bawah tanah mulai menyusun kekuatan dan memperbaiki partai. Usaha itu dimotori oleh tiga serangkai kader muda yakni  Aidit, Nyoto, dan Lukman. Ketiganya merupakan kader PKI muda yang berbeda pandangan dengan kader-kader PKI tua macam Musso. Usaha dan kerja keras tiga sekawan itu mebuahkan hasil yang memuaskan pada pemilu 1955, dengan menempati peringkat ke 4 dan menjadi salahsatu pemenang dalam pemilu tersebut dibawah PNI, Masyumi, dan NU. Keberhasilan dalam Pemilu tahun 1955 membuat PKI memiliki banyak pendukung di satu sisi dan lawan politik di sisi lain.

 Musuh ideologis PKI adalah Masyumi. Masyumi merupakan partai politik Islam terbesar pada waktu itu. PKI dan Mayumi sering terlibat konflik baik dalam tataran wacana maupun konflik antar kader di daerah-daerah (simpatisan PKI pernah menyabotase kampanye Masyumi di Jakarta).

Secara garis besar konflik itu disebabkan oleh perbedaan ideologi politik antara keduanya. Masyumi berpendapat bahwa komunisme itu atheis dan tidak sejalan dengan ajaran Islam, sedangkan PKI menganggap Masyumi sebagai partai yang mendukung gerakan pemberontakan DI/TII (Darrul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Sejak tahun 1954 ketika lahir Front Anti Komunis (FAK) yang dibentuk oleh pimpinan Masyumi Jawa Barat, Isa Anshary, konflik tersebut mulai digelar. Kebencian Isa Anshary kepada kaum komunis sangat mendalam. Berdasarkan pada pemahamannya, komunisme tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebetulnya Natsir yang merupakan ketua umum Masyumi pada waktu itu juga merupakan musuh komunis, namun dalam perlawanannya antara Natsir dan Isa Anshary berbeda gaya. Natsir lebih bersikap kalem dalam menghadapi kaum komunis karena ia berkeyakinan bahwa isu anti komunisme adalah isu yang rawan untuk dibicarakan, sedangkan Isa Anshary menganggap bahwa memerangi komunisme harus dilakukan dengan tindakan nyata. Langkah Isa Anshary dalam memerangi komunisme dilakukan dengan mengeluarkan fatwa sebagai berikut:

Pernyataan Ulama Partai Masyumi Jawa Barat

Setelah mempelajari dan menelaah secara mendalam sifat dari ideologi Marxis-Komunis, baik dari sudut pandang iman dan keyakinan terhadap Tuhan – dari mana kami melihat jelas bahwa sifat komunisme yang ateistik dan anti agama – maupun dari sudut pandang politik dan ekonomi – dari mana kami melihat jelas bahwa komunisme itu anti demokrasi, menganjurkan penghapusan hak milik pribadi, dan menganjurkan perjuangan kelas dan perang diantara kelompok-kelompok masyarakat, menyadari bahwa ajaran-ajaran dan ideologi Marxis-komunis bukan hanya berlawanan sepenuhnya dengan ajaran-ajaran dan hokum islam, akan tetapi juga merupakan bahaya yang mengerikan terhadap agama pada umumnya dan membahayakan keamanan Republik Indonesia yang didasarkan atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Masa Esa,

Menimbang perlunya seluruh umat islam, khususnya para ulama dan zu’ama, untuk mengambil sikap tegas terhadap ideologi komunis, sesuai dengan ajaran-ajaran islam (Al-Qur’an dan Hadits), dan tanggungjawab umat islam Indonesia untuk melindungi negara dan bangsa dari bahaya komunis,

Setelah mendengar pendapat dan pembahasan-pembahasan para anggota, berdasarkan penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits,

kami memutuskan :

  1. Ideologi komunis bertentangan sepenuhnya dengan ajaran islam dan hukum  islam, dan merupakan bahaya terhadap agama dan negara Indonesia.
  2. Kaum muslimin yang menerima keyakinan komunis dengan sendirinya telah keluar dari agama islam (murtad).
  3.  Haram bagi kaum muslimin untuk menjadi anggota Partai Komunis Indonesia maupun badan-badan dan organisasi yang tujuannya jelas untuk membangun hukum dan ideologi komunis di Indonesia.
  4. Kami menghargai pendirian “Front Anti Komunis” oleh pemimpin-pemimpin Masyumi Jawa Barat dan menganjurkan kepada seluruh umat islam Indonesia untuk membentuk cabang “Front Anti Komunis” di tempat-tempat mereka, sebagai bukti dari sikap yang tegas dalam menentang ideologi komunis tersebut.
  5. Mengambil sikap diam terhadap ideologi komunis yang dijalankan oleh Partai komunis Indonesia berarti menandakan niat untuk membiarkan perkembangan dan kemenangan dari suatu ideologi yang akan mendatangkan murka Allah.
  6. Kami menyerukan kepada seluruh ulama dan zu’ama umat islam untuk mengamalkan ajaran-ajaran islam yang bersatu dan kuat guna mencegah penyebaran ideologi komunis yang berbahaya tersebut.
  7. Kami menyerukan kepada seluruh partai politik dan kelompok yang anti komunis untuk menghentikan kerjasama dengan Partai Komunis Indonesia.

Fatwa itu merupakan usaha Masyumi Jawa Barat dalam membendung pengaruh PKI di tanah Pasundan. Usaha Masyumi tersebut menunjukkan hasil yang gemilang. Pemilu 1955 PKI memang menjadi salahsatu pemenang, namun basis PKI hanya terdapat di Jawa Tengah dan beberapa di Jawa Timur. Wilayah Jawa Barat sepenuhnya dikuasai oleh Masyumi dengan 1.834.678 suara diikuti oleh PNI dengan 1.501.440 suara (Boyd R. Compton,1992:273)

Konflik Masyumi dan PKI merupakan konflik antar partai yang berskala nasional. Ketika Masyumi memegang kekuasaan, Masyumi tidak pernah memasukan PKI dalam kabinet, hal itu terjadi selama Masyumi memegang jabatan perdana menteri. Tanggal 18 Februari 1957 Presiden Sukarno menggagas konsepsi yang memungkinkan PKI masuk dalam susunan kabinet (Suara Merdeka, 19 Februari 1957). Rancangan konsepsi itu ditolak oleh pihak Masyumi (Suara Merdeka, 20 Februari 1957). Juru Bicara Masyumi waktu itu, Anwar Harjono mengatakan bahwa pihaknya menunggu keputusan resmi presiden, namun jika PKI masuk dalam kabinet. Masyumi dengan tegas menolak. Penolakan itu tidak hanya dilakukan oleh Masyumi, tetapi juga dilakukan oleh partai-partai Islam yang lain seperti NU, PSII dan Perti.

Rapat BKOI di Malang tanggal 28 Februari 1957 menghasilkan keputusan bersama mendesak agar konsepsi Presiden diganti dengan tidak usah memasukkan PKI dalam kabinet (Suara Merdeka, 28 Februari 1957). Namun, seiring berjalannya waktu konsepsi itu mulai diterima, PKI pun mulai ambil bagian dalam politik negara sejak Kabinet Djuanda. Pada tahun-tahun itu berita mengenai konflik PKI dan Masyumi merupakan makanan sehari-hari surat kabar. Baik PKI maupun Masyumi saling menyerang melalui tulisan. Sebagai contoh; pada bulan April 1957 banyak diberitakan tentang korupsi di tubuh Angkatan Darat (Suara Merdeka, 10 April 1957). penyelesaian kasus itu dilakukan dengan oleh pihak militer dalam hal ini A.H Nasution sebagai pemimpin militer. Selain memeriksa militer, melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi-nya Nasution bekerjasama dengan pemerintah untuk memberantas korupsi di kalangan sipil. PKI menggoreng isu itu, di harian Bintang Merah binaannya memberitakan tentang adanya harta simpanan kader Masyumi sebanyak 3 Juta. Hal itu ditolak dengan tegas oleh Masyumi.

Persaingan kedua partai itu membuat masa demokrasi liberal menjadi masa yang penuh  huru-hara. Kekacauan tidak hanya disebabkan oleh gerakan separatisme tetapi juga ditimbulkan oleh persaingan partai politik. Demokrasi liberal adalah masa yang dinamis. Demokrasi Liberal meninggalkan konflik berkepanjangan dalam perpolitikan Indonesia.  Melihat politik yang semakin kacau, Presiden Sukarno mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959. Pokok-pokok dekrit itu antara lain:

  1. Membubarkan Badan Konstituante hasil pemilu 1955
  2. Memberlakukan kembali UUD 1945
  3. Tidak memberlakukan UUD 1950
  4. Membentuk MPRS dan DPAS

Keberhasilan Sukarno dalam menjalankan dekrit presiden 5 Juli 1959 diakibatkan adanya dukungan dari pihak militer, khususnya angkatan darat. Setelah dekrit itu dikeluarkan maka dimulailah babak baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia, yakni Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi terpimpin memberi angin segar kepada tiga pihak yakni Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat. Sukarno adalah presiden Indonesia yang selama masa Demokrasi Liberal tak memiliki kekuasaan untuk melakukan kontrol pemerintahannya sendiri, ia “diparkir” dan hanya menjadi sebagai simbol negara, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri.

PKI merupakan salah satu pemenang pemilu  1955. Namun pada masa Demokrasi Liberal PKI tak pernah dimasukkan dalam susunan kabinet. Sedangkan Angkatan Darat pada masa Demokrasi Liberal merasa menjadi pihak yang dipinggirkan oleh orang-orang partai yang berasal dari golongan sipil. Angkatan Darat tidak memiliki akses berpolitik dan hanya menjadi alat negara yang bertugas menumpas gerakan separastis. Berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin memberi angin segar kepada pihak-pihak yang “tersakiti”. Terkhusus PKI, kegagalan menjadi partai politik besar yang sejajar dengan para pesaingnya—Masyumi dan PSI—pada gilirannya memaksa PKI untuk memberikan dukungan sepenuh hati terhadap konsepsi Bung Karno.

Dukungan itu memungkinkan, untuk pertamakalinya, PKI mendapatkan kesempatan andil dalam kabinet (Peter Edman 2015:122)

Pada tahun 1959 pula Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden (PNPS) nomor 7 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 128 tahun 1960 yang menyatakan partai yang diakui pemerintah adalah PNI, NU, PKI, Partai Katholik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia, IPKI, Perti, dan Murba. Kedekatan dengan pimpinan Republik membuat PKI menjadi superior. PKI pada saat itu berada dibawah perlindungan Sukarno, posisi yang menguntungkan itu membuat PKI dapat dengan leluasa menyerang lawan politiknya, terutama Masyumi. Masyumi kian melemah, terlebih ketika kadernya terbukti terlibat dalam gerakan DI/TII (Darrul Islam/Tentara Islam Indonesia). Keterlibatan kader Masyumi dalam gerakan DI/TII pada akhirnya membuat partai itu dibubarkan oleh Sukarno.

Hal itu terjadi pada tahun 1960 ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang dianggap mendukung gerakan separatisme. Pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi oleh PSI. Jika dalam tempo 100 hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Untuk menyelamatkan kader-kader Mayumi di seluruh penjuru negeri pimpinan pusat Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dan sekjennya, Muhammad Yunan Nasution mengeluarkan pernyataan politik yang isinya membubarkan Masyumi pusat sampai cabang-cabangnya di berbagai daerah.

Masyumi sudah bubar, langkah PKI selanjutnya adalah menghabisi sisa-sisa partai itu yang berada di Jawa Barat, karena Jawa Barat yang pada saat itu menjadi basis Masyumi di pulau Jawa. Usaha untuk “menghabisi” sisa-sisa Masyumi Jawa Barat dilakukan melalui sebuah penelitian di tahun 1964. Pada tahun itu PKI menerbitkan sebuah buku berjudul  Kaum Tani Mengganyang Setan-Setan Desa.

Buku itu merupakan hasil riset Aidit Bersama tim yang terdiri dari 40 orang, tim itu dipimpin oleh Aidit sendiri. Tim peneliti terdiri dari kader-kader yang sudah berpengalaman dalam pergerakan kaum tani. Aidit melakukan penelitian pada tanggal 2 Februari sampai tanggal 22 Maret 1964 di beberapa desa di Jawa Barat, antara lain; Rancah dan Padaherang (Ciamis), Cisompet dan Awanaraja (Garut), Karangnunggal (Tasikmalaya), Jatittujuh (Majalengka), Cipeundeuiy dan Ciwedey (Bandung), Cimalaka (Sumedang), Bojong Picung (Cianjur), Sagaranten dan Ngarak (Sukabumi), Haurgeulis dan Kadanghaur (Indramayu), Lemahabang (Cirebon), Segalaherang (Subang), Rengasdengklok (Karawang), Cimanggis, Ciomas, dan Cijeruk (Bogor), Serpon dan Legok (Tanggerang), Warunggunung (Lebak), dan Labuhan (Pandeglang). Hasil penelitian menyimpulkan desa-desa di Jawa Barat terdapat banyak penghisapan terhadap kaum tani yang dilakukan oleh borjuis, kapitalis, maupun birokrat. Buku itu juga menghasilkan sebuah analisis tentang tujuh setan desa dan jenis-jenis penghisapannya.

Dalam kajian tentang konflik PKI dan Masyumi, buku Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa bisa menjadi sumber. Buku Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa setidaknya memberi dua informasi penting.

Pertama, dukungan PKI terhadap kebijakan Presiden Sukarno. Bentuk dukungan PKI terhadap kebijakan Sukarno adalah dengan mempropagandakan bahwa UUPBH, UUPA, dan Konfrontasi dengan Malaysia merupakan langkah politik maju yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. PKI meyakini bahwa landreform merupakan jalan terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan petani. Statement-statement yang ada buku itu menunjukkan keinginan PKI untuk menjadi satu-satunya partai politik yang selalu mendukung kebijakan Sukarno. Aidit memberikan persetujuannya terhadap konsepsi Bung Karno dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar memberikan dukungan terhadap konsep tersebut dengan penuh semangat dan kerja keras. Menurut Aidit konsepsi Bung Karno tersebut adil dan demokratis.

Kedua, PKI menyerang lawan politiknya yang ada di wilayah Jawa Barat, yakni “sisa-sisa” Masyumi. Penyusunan buku itu sangat bermakna politis, mulai dari penelitian sampai penulisannya.

PKI melakukan penelitian di Jawa Barat kerena merupakan wilayah basis Masyumi dan merupakan tempat kelahiran “Front Anti Komunis”. Melalui buku itu PKI mencoba membangun stigma bahwa Masyumi, yang pada saat itu sudah bubar, merupakan dalang kesengsaraan kaum tani Jawa Barat. PKI menuduh tuantanah jahat dan tani kaya jahat sebagai orang-orang bekas Masyumi atau orang-orang Majelis Ulama, yang dianggapnya sebagai Masyumi gaya baru.

Tuan tanah-tuan tanah yang tidak sejalan dengan aksi-aksi  PKI dianggap sebagai mantan Masyumi terlarang. Keterlibatan kader Masyumi dalam gerakan kontra revolusioner DI/TII dijadikan dalih (atau pembelaan) oleh PKI untuk menyerang tuan tanah atau tani kaya, mereka yang menentang kebijakan UUPA dan UUPBH dicap sebagai kader Masyumi yang mendukung gerakan DI/TII di Jawa Barat.

Dari uraian di atas dapat kita tarik simpulan bahwa buku Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa adalah wujud “serangan balik” PKI kepada Masyumi, terutama Masyumi Jawa Barat.

***

Tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa besar yang menyeret PKI dalam kehancuran. PKI dianggap sebagai dalang peristiwa yang menewaskan beberapa petinggi Angkatan Darat itu.

Hari-hari selanjutnya giliran PKI yang menjadi sasaran amukan rakyat. PKI hancur, ia dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia. Nasibnya jauh lebih buruk dari Masyumi, kader dan simpatisan mereka dibunuh, disiksa, dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Setelah PKI tumbang Orde Baru berkuasa.

Seperti halnya masa panen, tiap bulan September isu kebangkitan PKI selalu dihembuskan dan digoreng untuk entah apa tujuannya. Terkhusus untuk golongan islam fundamentalis, mereka  memanfaatkan isu itu untuk kepentingan politiknya. Mereka menyambut isu kebangkitan PKI di tahun 2017 secara massif, mereka menggelar  aksi 299 di Jakarta. Aksi yang bertema melawan kebangkitan komunisme itu juga disusupi dengan penolakan terhadap UU Ormas. Perlu diingat, UU Ormas adalah senjata hukum yang digunakan pemerintah untuk membubarkan HTI beberapa waktu lalu. Penyatuan isu kebangkitan komunisme dengan UU Ormas yang dibungkus dalam Aksi 299 terkesan anakronis, sebab kedua masalah itu bukanlah satu bagian yang saling terkait. Aksi 299 menunjukkan kepentingan golongan fundamentalis ditengah isu kebangkitan komunisme. Wajar saja, sejak dibubarkannya HTI kelompok fundamentalis belum menemukan formulasi politik yang tepat untuk menyerang balik pemerintah. Penggorengan isu komunis ini barangkali menjadi jawaban atas kegelisahan mereka.

Kaum fundamentalis di partai pun ikut menikamati hasil penggorengan isu kebangkitan PKI. PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sebagai partai politik berhaluan islam fundamentalis melakukan aksi ‘menangkal bahaya komunisme’ berskala nasional. Mereka menggelar acara nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI di berbagai kota di Indonesia pada 30 September 2017. Menurut Jazuli, ketua fraksi PKS, menonton film Pengkhianatan G30S/PKI adalah sarana efektif untuk mengingatkan masyarakat terutama generasi muda tentang pentingnya menjaga ideologi negara dan ikatan kebangsaan dari bahaya komunisme dan anasir-anasirnya. Jika ditelisik lebih dalam, basis PKS berada di wilayah Jawa Barat dan jika kita menganalisis secara historis maka akan menemukan benang merah antara kekuatan PKS sekarang dengan kejayaan Masyumi di masa lalu. Mereka (PKS & Masyumi) sama-sama beraliran islam fundamentalis dan basis PKS saat ini merupakan basis Masyumi di masa lalu. Artinya ada garis keturunan ideologis antara keduanya, maka menjadi wajar ketika PKS menjadi salahsatu partai politik paling militan dalam memerangi bahaya komunisme.

Hal yang lebih massif yang dilakukan golongan fundamentalis terhadap bahaya komunisme, menurut saya, adalah hal yang dilakukan imam besar FPI, Rizieq Shihab. Medio Januari 2017 Rizieq Shihab, sebagai imam besar FPI, mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan menyatakan bahwa hologram logo Bank Indonesia (BI) yang tertera di uang baru menyerupai logo palu arit. Bahkan secara tegas ia meminta kepada pemerintah agar menarik kembali uang yang baru saja diluncurkan itu, sebab menurutnya kemiripan hologram BI dengan logo palu arit bisa mengancam bangsa dan negara. Akibat pernyataannya itu Rizieq Shihab diperiksa kepolisian. Walaupun pernyataan Rizieq Shihab terkesan mengada-ngada namun apa yang dilakukannya merupakan manifestasi dari cara berpolitik FPI.

Isu PKI menjadi sarana efektif untuk unjuk kekuatan. Baik HTI, PKS, maupun FPI sama-sama memanfaatkan isu kebangkitan PKI untuk menguatkan posisi politiknya. Walaupun cara dan tujuannya berbeda namun secara ideologis mereka memiliki kesamaan, hal itu yang membuat ketiganya berada dalam satu kubu dalam menyikapi isu kebangkitan PKI.

Sebenarnya, baik PKI maupun Masyumi sama-sama bernasib mengenaskan, hancur lebur dan menjadi partai terlarang. Era Orde Baru PKI sudah benar-benar hancur dan tidak mungkin bangkit lagi. Jangankan membangunnya kembali, membicarakannya saja bisa membuat orang masuk bui. Berbeda dengan nasib PKI, pada awal kekuasaan Orde Baru terdapat sekolompok orang “bekas” Masyumi yang mencoba menghidupkan kembali partai, namun hal itu ditolak oleh Presiden Suharto. Masyumi lenyap, namun peninggalan ideologi mereka mengakar-rumput di Indonesia sampai hari ini.

Kini kaki-tangan masyumi baru muncul dalam medan perpolitikan Indonesia, mereka adalah kelompok politik yang mengusung ideologi islam fundamentalis atau islam fundamentalis. Anak-anak ideologis Masyumi itu ada yang berbentuk partai politik, organisasi masyarakat, maupun organisasi mahasiswa.

Memahami konflik antara komunisme dan islam fundamentalis tidak bisa dilakukan hanya dengan mempelajari ideologinya saja, namun juga perlu menarik benang merah sejarah konflik diantara keduanya. Dalam hal ini kita perlu mempelajari sejarah konflik antara PKI dan Masyumi. Memahami permasalahan hari ini tanpa berkaca pada masa lalu merupakan sebuah anakronis dan terkesan sangat konyol. []

 

Daftar Pustaka

Edman, Peter. 2015. Komunisme Ala Aidit. Yogyakarta: NARASI.
Nusantara Dipa, Aidit. 1964. Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa. Jakarta: Cahaya Pembaruan
Compton, Boyd. 1992. Kemelut Demokrasi Liberal. Jakarta: LP3ES

Arsip Koran

  1. 1957. “Konsepsi Presiden Menghendaki PKI Ikut dalam Kabinet “. Suara Merdeka, 19 Februari 1957
  2. 1957. “Masyumi Tolak Ikutnya PKI “. Suara Merdeka, 20 Februari 1957
  3. 1957. “Rapat BKOI Minta Negara Dipimpin Sukarno-Hatta, Desak Supaya Konsepsi Presiden Diganti Dengan Tak Dimasukkannya PKI “. Suara Merdeka, 28 Februari 1957.

Sumber Internet

http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/02/mengenang-sejarah-pembubaran-partai.html  diakses 5 Juli 2017 pukul 10:24
https://id.wikipedia.org/wiki/Dekret_Presiden_5_Juli_1959 diakses 6 Juli 2017 pukul 21:16

Sumber Gambar: historia.id

Leave a comment