Oleh Eko Santoso

Sampai sejauh ini, universitas memiliki nilai prestise khusus. Sehingga, kebanyakan mahasiswa, merasa beruntung ketika diterima dan berkesempatan untuk mengenyam dunia perguruan tinggi. Universitas, dianggap sebagai institusi paling shahih untuk memproduksi hingga mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi, sekaligus, menjadi wadah penelur intelektual. Maka tak heran bila kemudian, berbagai kampus negeri maupun swasta berlomba-lomba membangun dan memproduksi mahasiswa secara massal. Dengan harapan, semakin banyak terlahir para intelektual yang berbekal ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni, untuk menanggulangi berbagai problem yang lahir di masyarakat.

Namun demikian, nampaknya, bila dilhat lebih jauh dengan berkaca terhadap realita yang nampak hari ini, pendidikan kampus yang condong terhadap model pendidikan mekanik dan terspesialisasi—buntut dari positivisme dan modernisme—justru semakin mengalami degradasi yang cukup parah, termasuk dengan tingkat intelektualitasnya. Sebagai akibat dari sistem ekonomi modern dan sistem kapital yang dibangun oleh negara, esensi kampus yang seharusnya membicarakan ilmu pengetahuan dengan dasar nilai ontologis, epistemologis, serta aksiologis dengan jelas tanpa terpisah, seketika sirna dan justru dikangkangi kepentingan ekonomi-politik hasil kombinasi antara pemodal dan penguasa.

Pada akhirnya, produksi massal mahasiswa dalam jangka waktu secepat-cepatnya, menjadi model paradigma dominan di berbagai universitas, dengan menekankan material oriented di bawah otoritas kekuasaan penguasa. Universitas, tidak lagi melihat realitas masalah di masyarakat sebagai tujuan akhir untuk dicarikan solusinya dalam wujud aksiologis keilmuan, melainkan berhenti ditataran acara seminar-seminar dan segudang tumpukan jurnal ilmiah; mereka lebih mengedepankan pembicaraan untung-rugi—yang melatar-belakangi liberalisasi pendidikan; atau bicara soal teori-teori yang menyokong sistem kapital dan sekaligus memproduksinya di bawah rantai otoritas penguasa sebagai penjaganya, dengan tetap menutup erat sirkulasi lubang-lubang yang memungkinkan adanya lontaran kritik.

Lahirnya para sarjana yang jumlahnya sekitar 250.000 tiap tahunnya, semakin tidak terasa memberikan perubahana apapun. Dan, selurus dengan catatan BPS yang menyatakan bahwa jumlah sarjana yang menjadi pengangguran terbuka, tercatat sebanyak 567.235 pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 606. 939 pada 2017 (data per Februari 2017). Pada akhirnya, mau tidak mau, produksi massal mahasiswa yang secepat-cepatnya ini membuat universitas menjadi sebuah organisasi pembodohan yang institusional, yang kemudian sebagai penawarnya,  mengintegralkan diri kedalam ban-ban yang berjalan di pabrik-pabrik nyata atau untuk sekedar mencetak profesor. Alih-alih kehadiran kampus beserta mahasiswa yang dibentuknya menawarkan agenda-agenda problem solving yang konkrit untuk diimplementasikan dalam menuntaskan berbagai problem kehidupan masyarakat, kehadiran kampus justru turut menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam penyumbang dan sekaligus pencipta problem yang ada.

Meski demikian, banyak dari mahasiswa yang tidak sadar akan hal ini, dan tetap menempatkan dosen beserta kurikulum keilmuannya di universitas, sebagai rujukan utama tanpa melihat beberapa alternatif yang lain. Sialnya, hal itu mengeliminasi pula semangat kritis, yang seharusnya menjadi dasar dialektika keilmuan. Mahasiswa justru lebih gemar membenamkan diri mereka ke dalam ilusi mistis tentang label “Mahasiswa” sebagai agent of change.

Mahasiswa dengan keimpotenan-nya, bergerak dalam batas totalitarian sistem kampus yang pada akhirnya, membuat mereka menghindar untuk berjuang dan bereksperimen dalam mengawal cita-cita dan tujuan bangsa yang sesungguhnya, serta lebih memilih berada dalam posisi aman dengan rantai pengikatnya yakni; kampus yang telah diorganisir oleh kepentingan para penguasa sebagai penjaga sistem kapital yang telah terbentuk.

Dalam era yang penuh imaji dan ilusi—sebagai alat dan ideologi sistem kapital—, mahasiswa diarahkan menjadi pematron yang loyal terhadap film di kos-kosan, di kontrakan, melalui TV atau PC mereka. Mereka pun tak ubahnya hanya sebagai konsumen yang paling keranjingan terhadap rongsokan-rongsokan dari bangkai awetan, yang dikemas secara menawan dan ditampilkan di supermarket-supermarket, yang sebenarnya, diperuntukan bagi orang yang kaya raya.

Reifikasi dan spektakulerisasi kapitalisme modern, memberi setiap orang peran yang spesifik dalam sebuah kepasifan umum, tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa hanyalah sebuah peran sementara, sebuah latihan atas peran utama mereka kelak dikemudian hari sebagai sebuah elemen konservatif  yang memfungsikan sistem komoditi. Dalam status kelas di masyarakat, mahasiswa bukan berada pada kelas menengah, melainkan berada pada kelas miskin. Lebih dari 80 % mahasiswa datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan sedikit lebih di atas kelas pekerja, sementara 90 % dari mereka sendiri memiliki uang jauh lebih rendah dari rata-rata para pekerja.

Selain miskin secara ekonomi, mahasiswa benar-benar miskin dan remeh-temeh dari sudut pandang revolusioner. Mereka bahkan tak mampu memberikan presure terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai tuntutan yang diteriakkan di jalan misalnya, bahkan hanya berhenti di tataran penyampaian ekspresi dan tuntutan tanpa perubahan berarti. Hal ini jelas menunjukan bahwa kemiskinan mahasiswa, adalah ekspresi terjelas dari kolonisasi segala aspek praktik-praktik sosial di bawah kendali—sebagaimana yang diucapkan Foucault yakni: Pemerintah. Kebutuhan kapitalisme modern, menjadikan kebanyakan mahasiswa menjadi sekedar kader-kader rendahan yang hidup tanpa ideologi yang jelas. Kemudian sebagai kompensasi akibat ketidakjelasannya, mereka kemudian mendekorasi hidup mereka dengan ilusi-ilusi yang glamor.

Terkekangnya mahasiswa dalam otoritas kampus, di tambah dengan otoritas keluarga sebagai bagian tak terpisahkan dalam ranah privat mereka, menjadikan mahasiswa seolah menjadi budak-budak yang sabar dalam rantai-rantai otoritas tadi. Penerapan kuliah lulus 4 tahun; pelarangan demontrasi dan kritik; penerapan UKT tinggi disertai uang pungutan yang dihalus-bahaskan menjadi uang sumbangan; materialisasi kegiatan, agenda, dan fasilitas umum (contoh seperti penarikan uang untuk seminar dan parkir di kampus); yang berjalan begitu saja tanpa ada kritik dan upaya merubahnya, adalah bukti paling jelas bahwa mahasiswa, selain miskin dalam ekonomi dan politis, juga semakin miskin atas rasa kerelaan, kepasrahan, dan apatisnya terhadap keenggananya dalam merubah kondisi yang tidak baik-baik saja, hari ini, akibat pengabdiannya terhadap sistem kapital yang kadung menancap kuat di segala sendi kehidupan.

 

Gambar: Pinterest

Leave a comment