Oleh Bagas Yusuf Kausan

Masih dalam rangka Konferensi Tenure yang diselenggarakan pada tanggal 25-27 Oktober 2017, pada hari Selasa kemarin (24/10), serial perkuliahan pra-konferensi yang ke 4, kembali terhelat di Ruang Seminar Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta. Perkuliahan kali ini mengambil tema tentang Studi Agraria Indonesia: Kebutuhan dan Prioritas, Jangka Pendek dan Jangka Panjang, dengan Prof. Ben White sebagai pengampunya.

Dalam studi agraria Indonesia, nama Ben White memang tidak terdengar asing. Ia telah puluhan tahun meneliti mengenai agraria dan persoalan pedesaan, khususnya di Indonesia. Professor Emeritus Sosiologi Pedesaan pada International Institute of Social Studies (ISS), Den Haag ini, telah menerbitkan beberapa buku antara lain Agrarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia (Berkeley: University of California Press, 1989), In the Shadow of Agiculture: Nonfarm Activities in the Javanese Economy, Past and Present (Amsterdam: Royal Tropical Institute Press, 1991), dan The New Enclosures: Critical Perspectives on Corporate Land Deals (London: Routledge, 2012).

FB_IMG_1508790988870

Sebagai pembuka perkuliahan, Prof. Ben White mengingatkan kita semua bahwa pada tahun 2020, kita akan sama-sama menyambut sekaligus merayakan 60 tahun UUPA 1960. Agak terkesan jenaka memang, ketika peringatan 60 tahun UUPA menjadi pembuka sesi perkuliahan. Namun jika ditilik lebih lanjut, terkandung pertanyaan yang cukup provokatif di balik maksud Prof. Ben White yakni: Apa peran dan kontribusi peneliti agraria untuk menyambut 60 tahun UUPA 1960? Alih-alih meminta peserta perkuliahan untuk bersiap menyambut dan memperingati 60 tahun UUPA 1960 dengan pagelaran sebuah acara misalnya, Prof. Ben White justru menantang para peneliti untuk mulai membuat rancangan penelitian agraria sebagai bentuk kontribusi nyata ketika UUPA 1960 telah berumur 60 tahun.

Terdapat tiga asumsi awal yang coba dibangun dan disampaikan oleh Prof. Ben White dalam perkuliahannya, yaitu:

  1. Studi agraria yang baik, akan mempengaruhi praktik reforma agraria.
  2. Pembenahan struktur agraria, dapat ditempuh dengan dua acara, yaitu; Landreform dalam skala dan arti yang lebih sempit, serta Agrarian Reform dalam skala yang lebih luas.
  3. Perlu ditegaskan bahwa petani adalah subyek yang bebas.

Tiga asumsi dasar inilah, yang kemudian menjadi kerangka dan sekaligus menjadi gerbang masuk ke pokok perkuliahan Prof. Ben White.

Sedari awal, perkuliahan yang disampaikan oleh Prof. Ben White ini memang bertujuan mengajak para peneliti agraria untuk berpikir kritis tentang kebutuhan penelitian pada masa mendatang dan mengangkat beberapa bidang penelitian yang diperlukan baik untuk proyek jangka pendek, ataupun proyek jangka panjang. Oleh Prof. Ben White, dorongan melakukan penelitian jangka pendek dan jangka panjang tersebut dirangsang secara eksplisit, setidaknya, melalui 12 poin kejanggalan dalam studi agraria sebagai berikut:

  1. Dalam kasus Indonesia, terdapat heterogenitas penggunaan lahan secara besar-besaran dan itu sebenarnya tidak masuk akal. Hal ini tercermin dari kepemilikan lahan aneka usaha perkebunan sawit misalnya, yang mencapai ribuan hektar.
  2. Ada term yang cukup berkembang kencang saat ini, yakni tentang dorongan untuk berswasembada pangan. Namun term ini akan terlihat janggal, kontradiktif, dan bermasalah ketika kita menilik jumlah luasan lahan perkebunan kelapa sawit yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
  3. Pola distribusi kepemilikan tanah yang sangat tidak merata. Hal ini seyogyanya mendorong para peneliti untuk mulai bertanya apakah pelaksanaan UUPA 1960 memang tidak berhasil? Kemudian apakah UUPA 1960 tersebut masih relevan dalam konteks hari ini?
  4. Ben White menduga bahwa akumulasi/konsentrasi penguasaan lahan yang terjadi saat ini, justru cenderung semakin banyak menghasilkan petani pemaro/penyakap, dibanding mendorong terciptanya kelas petani bertanah luas ataupun petani kapitalis.
  5. Spekulasi tanah menjadi kian genting untuk diperhatikan, terlebih karena hal tersebutlah yang membuat ketidakadilan di desa kian tampak ke permukaan. Selain itu, hal tersebut jelas membuat iklim investasi yang tidak sehat, serta semakin menjauhkan masyarakat desa untuk mampu mengakses tanah tersebut.
  6. Idealnya, para petani pemaro/penyakap ini dilindungi oleh UUPBH 1960. Namun sampai saat ini, keberadaan UUPBH tersebut selalu dilanggar secara kontinu dari masa ke masa. Disamping itu, terdapat kecenderungan peneliti agraria yang tidak banyak menaruh perhatian berlebih terhadap para petani pemaro/penyakap ini. Padahal menurut Prof. Ben White, kondisi para petani penyakap ini hanya sedikit saja lebih baik dibanding para buruh tani (Landless).
  7. Kita perlu lebih siap dan cerdik membaca konsekuensi-konsekuensi tak terduga dari aneka kebijakan agraria. Hal ini berlaku dalam hal melihat upaya sertifikasi lahan yang sedang gencar dilakukan oleh pemerintah. Sebagai upaya Pseudo-security of tenurial (cetak tebal dari penulis), program sertifikasi lahan justru mengungkap ketidakhadiran model security of tenurial lain yang ditawarkan oleh para peneliti agraria. Dan ini menjadi tantangan ke depannya.
  8. Menyoal batas maksimum dan batas minimum yang termaktub dalam UUPA 1960. Pertanyaan mendasarnya, apakah di masa sekarang luas cakupan batas maksimum dan minimum kepemilikan lahan masih relevan?
  9. Kegagalan pemerintah dalam pelayanan dan perlindungan terhadap petani. Organisasi payung petani seperti HKTI, terlihat ompong dan sama sekali tidak melakukan daya-upaya guna melindungi para petani. Adakah jalan keluarnya?
  10. Menyiapkan generasi petani baru. Dalam hal ini, perlu untuk didorong semacam pemodelan pembagian tanah untuk para pemuda/i di desa.
  11. Tentang hak kepemilikan pribadi dan hak kepemilikan komunal. Bentuk tenure seperti apakah yang sesuai dengan zaman sekarang? Kedua bentuk kepemilikan (pribadi dan komunal) sama-sama merugikan perempuan dan juga menjauhkan akses para pemuda dari tanah. Bagaimana mensiasati hal ini?
  12. Perlu ditegaskan bahwa petani Indonesia, adalah warga bebas yang memiliki hak dan berdaulat. Ia tidak bisa terus-menerus diintervensi oleh pihak luar. Dalam konteks hari ini, keberadaan tentara sebagai pendamping petani di pedesaan, terutama untuk mendorong petani mampu menghasilkan panen hingga tiga kali dalam satu tahun, tentu adalah bentuk intervensi dan sekaligus pencabutan hak kedaulatan petani. Hal ini perlu disorot secara lebih jelas lagi.

Dua belas poin inilah yang diharapkan, dapat menjadi bahan riset dan penelitian agraria di masa mendatang, baik sebagai proyek jangka pendek ataupun sebagai proyek jangka panjang. Prof. Ben White tidak mengharuskan mengawalinya secara berurutan sejak nomor yang pertama. Ke dua belas poin ini bisa diterapkan dalam riset penelitian secara acak, sesuai peminatan peneliti, aktivis, dan akademisi agraria itu sendiri.

Jika menghitung mundur, tersisa setidaknya tiga (3) tahun lagi Undang-Undang Pokok Pembaharuan Agraria Tahun 1960 (UUPA 1960) akan genap berusia 60 tahun. Masih serupa dengan pertanyaan yang dinyatakan Prof. Ben White di muka, apa peran dan kontribusi peneliti agraria untuk menyambut 60 tahun UUPA 1960? Dengan bekal 12 poin yang disampaikan oleh Prof. Ben White di atas, kita diprovokasi untuk mulai merancang agenda penelitian dan riset tentang persoalan-persoalan yang dikemukakan, agar minimal, kita dapat berkontribusi pada saat peringatan 60 tahun UUPA 1960 dan sekaligus terhindar dari perayaan-perayaan seremonial yang tidak menghasilkan serta membawa dampak apapun. ***

 

Gambar: Kalamkopi

 

Leave a comment