Oleh Eko Santoso

Semenjak ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) melalui Keputusan Presiden No. 22 tahun 2015, terhitung semenjak 15 Oktober 2015 hingga sekarang, tercatat sudah 3 tahun berturut-turut para kalangan pesantren semacam ulama, kyai, santri, hingga para simpatisan masuk dalam euforia perayaan HSN di berbagai tempat. Hal ini tentu sangat menarik, mengingat HSN seolah menjadi pertanda bahwa selama ini—sebelum terjadi penetapan—para kaum santri kurang mendapatkan pengakuan dari negara atas berbagai kontribusinya. Maka tak ayal, politik rekognisi berupa HSN yang dijalankan Jokowi adalah upaya cerdasnya dalam mengakomodir para santri, yang secara langsung memiliki keterikatan terhadap mereka yang saat ini menjadi kyai dan ulama hingga tataran ormas, khususnya di PBNU sebagai ormas terbesar di tanah air, lengkap beserta potensi politisnya. Hal ini semakin kentara pula ketika, secara partai, PKB yang menjadi salah satu partai paling mesra dengan kultur NU, masuk ke dalam koalisi yang mengusung Jokowi dalam Pilpres tahun 2014 kemarin. Tinjauan historis semacam ini, diakui atau tidak, menunjukkan kecendrungan bahwa lahirnya HSN, tentu memiliki muatan politis yang sejak awal telah menjadi bargaining dalam kontestasi elektoral pada 2014 yang lalu.

Ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai HSN, menurut pemerintah dan para elit santri yang kini memiliki posisi politis, diambil dari sebuah peristiwa penting di masa lalu ketika para santri, mengambil peran penting dalam upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia. Melalui fatwa Resolusi Jihad yang dilontarkan Hadratussyaikh Hasyim Asyari, dimana membela tanah air adalah fardlu ‘ain, maka jutaan santri atas nama Jihad Fi Sabilillah pasang badan melawan Belanda (NICA) yang kembali ingin merongrong tanah air. Inilah tonggak penting yang pada akhirnya mendorong para santri dan para kaum muda di Jawa Timur, untuk terlibat dan melahirkan peristiwa pertempuran 10 November—yang pada kemudian hari, termasuk hingga saat ini, kita peringati sebagai Hari Pahlawan.

Bila menilik gerakan revolusioner pesantren, termasuk santri dan kyai di dalamnya, peristiwa Resolusi Jihad bukanlah hal yang baru dalam perjuangan santri. Menilik ke belakang, upaya perlawanan dalam menentang penjajah semacam ini sudah lahir sejak abad ke 19, dimana pada masa ini kita mengenal berbagai nama pangeran dan sultan yang menjadi pelopor dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dimulai dari Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, dan sebagainya. Beberapa perlawanan yang dipelopori oleh kaum santri adalah Pemberontakan Kaum Padri di Sumatera Barat (1821-1828) yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol; perlawanan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Petani Banten yang merupakan respon umat Islam atas represi perlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888—yang kemudian oleh Sartono Kartodirjo (Sejarawan) ditulis menjadi disertasinya dengan judul “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Dalam disertasinya tersebut, Sartono berkesimpulan bahwa, pesantren dan santri adalah embrio yang melahirkan perjuangan revolusioner menentang penjajahan. Tak ketinggalan, perlawanan rakyat Aceh (1873-1903) yang dipimpin oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan memasuki Aceh, juga menjadi bagian dari pada itu.

Dengan demikian, jelas sudah bahwa pesantren, santri, hingga kyai, adalah kalangan yang bisa dibilang bertindak sebagai pihak yang paling awal tersadarkan atas adanya eksploitasi dan tindakan kesewenang-wenangan penjajahan. Atas kesadaran inilah, kemudian melahirkan semangat militan dalam perjuangan melawan berbagai bentuk penindasan yang dilakukan oleh Belanda pada waktu itu. Artinya, penghormatan terhadap keberadaan santri sebagai pihak yang berperan penting dalam mengusung dan mempertahankan kemerdekaan, tentulah sangat diperlukan dan bahkan menjadi harga yang mutlak.

Namun di sisi lain, dengan ditetapkannya HSN sampai sejauh ini, seolah menjadi sebuah pengakuan final yang secara tidak langsung, mengubur nilai-nilai perjuangan yang dahulu dipertaruhkan. Berbagai peringatan seremonial yang membanggakan para suhada terdahulu, acapkali secara tidak sadar, mengalienasi poin penting yang semestinya menjadi hal mendasar untuk lebih diperingati, yakni; perjuangan revolusioner menetang penindasan dan eksploitasi.

HSN, tidak boleh dimaknai oleh para santri dan kaum pesantren hanya sekedar dengan menempatkan santri sebagai identitas yang perlu di akui keberadaanya, namun lebih dari itu, santri menjadi begitu layak dihormati manakala perjuangan mereka selama ini memiliki makna mendalam dalam semangat revolusi menuju kedaulatan atas nama bangsa Indonesia. Mendudukan semangat jihad atas ketidakadilan oleh kesewenang-wenanganan penjajah itulah yang sebenarnya, perlu menjadi perhatian para santri dalam memperingati momen HSN. Oleh karena itu, penamaan HSN yang bagi saya pribadi mengaburkan makna Resolusi Jihad, harus diinterpretasikan lebih lanjut secara kritis oleh setiap komponen pesantren, utamanya para santri, dan oleh umat Islam pada umumnya, sebagai upaya dalam mengingatkan pada diri pribadi bahwa perjuangan, sama sekali belum selesai. Jihad, masih diperlukan dalam iklim negara yang terkekang oleh sistem kapital dan demokrasi liberal yang tak henti-henti dalam mengeksploitasi dan menindas manusia.

Terlepas dari muatan politis di awal tergagasnya HSN, yang menurut Muhammad Al-Fayyadl lebih cocok disebut sebagai Hari Jihad Nasional (HJN), mereka-mereka, yang sebagai identitas adalah santri dan umat Islam pada umumnya, harus bisa lepas dan sebisa mungkin melampaui kado manis Jokowi, yaitu berupa HSN sebagai politik rekognisinya. Dengan begitu, perayaan ini perlu untuk tidak berhenti pada euforia atas pengakuan keberadaan dan identitas, melainkan menjadi kritik mendasar untuk kembali mengingat dan memperjuangkan apa yang telah tertumpah selama ini, sejak sebelum merdeka, hingga saat ini dalam konteks musuh yang berbeda. Semangat militansi dalam menentang penjajah sebagai bentuk kesucian jihad, harus termanifestasikan hari ini dalam bentuk yang lebih kontesktual dan konkrit. Aktualisasi itu diwujudkan dengan semisal; mengkritik berbagai kebijakan yang tak populis bagi rakyat dan terlebih mendiskreditkan sekaligus menindas keberadaan rakyat kecil sebagai perwujudan menuntut keadilan. Jihad Fi Sabilillah, akan masih terus berjalan seiring masih berjalannya berbagai eksploitasi yang dilakukan oleh negara, pengusaha, politisi, dan berbagai pelaku lainnya. Terlebih untuk zaman sekarang ketika kita semua, sedang terkekang dan terpenjara oleh sistem kapital. Maka seyogyanya, santri harus kembali hadir menjadi pihak yang tersadarkan dan memicu perjuangan untuk kembali memantapkan kedaulatan atas nama negara-bangsa Indonesia.

Jika mampu demikian, maka inilah pemaknaan HSN yang sesungguhnya. Yaitu ketika kesadaran untuk memperjuangkan keadilan dan menentang penindasan adalah kunci yang melatarbelakangi perjuangan santri, dalam apa yang disebut Resolusi Jihad kekinian. Karena memang sudah jelas bahwa agama, utamanya Islam, secara terang-terangan menentang ketidakadilan dan penindasan dalam berbagai bunti ayat suci umat Islam.***

 

Gambar: @iqbalmstrmnd

 

 

Leave a comment