Judul             : Elit vs Massa
Penulis         : W.F. Wertheim
Penerbit       : Resist Book
Pengulas      : Bagas Yusuf Kausan

 

Beberapa orang ada di dalam kegelapan
Sementara beberapa lainya di tempat yang
terang
Orang tentu melihat mereka yang ada di tempat
Terang
Sedangkan mereka yang di kegelapan tetap tidak terlihat!

(Opera Pengemis, Berthold Brecht)

 Nukilan dari three penny Opera (Opera Pengemis) diatas, merupakan gambaran tajam atas sikap elit terhadap massa. Nukilan ini pula yang digunakan oleh W.F. Wertheim untuk menggambarkan distorsi realitas para elit, yang seringkali hadir dalam bentuk rasionalisasi atas perilaku elit itu sendiri. Maka komposisi penafsiran W.F. Wertheim atas syair opera tersebut ialah; terang adalah ‘elit’, dan gelap adalah ‘massa’. Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi pergolakan, kecenderungan, dan realita kehidupan yang mencakup para elit dan massa. Disamping itu, dalam buku ini pun akan dijelaskan kesalahan logika berpikir para elit, yang kerap menganggap keberadaan massa sedemikian rendah, bahkan tidak ada sama sekali.

Bagi mereka yang bergelut dalam studi sosiologi, antropologi dan sejarah secara khusus, maupun yang berkutat dalam studi-studi ilmu sosial secara umum, nama W.F. Wertheim tentu tak lagi asing dalam pendengaran. Ia merupakan sosiolog yang telah malang-melintang dalam studi keilmuan Indonesia, sejak zaman Belanda. Meskipun Profesor Wertheim merupakan lulusan hukum Belanda, Ia justru disegani sebagai seorang sosiolog dengan konsentrasinya pada masalah sosiologi pedesaan. Hal ini dibuktikan dengan ragam buku hasil karyanya yang telah banyak tersebar. Salah satu buku yang tersebar dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah buku Elit vs Massa ini, dan tiga judul buku  W.F. Wertheim lainya.

Di dalam buku yang berjudul asli Elite Perception and the Masses kali ini, W.F. Wertheim mengajak pembaca, untuk merefleksi diri dan melihat dengan telanjang kecenderungan pikiran dan tindakan elitis, yang tidak hanya dimiliki oleh kebanyakan para penguasa, namun dimiliki pula oleh para cendekiawan dan peneliti. Dalam struktur bukunya kali ini, W.F Wertheim membaginya menjadi dua bab; pertama, Sosiologi tentang Ketidaktahuan: Wilayah-wilayah Gelap bagi Kaum Elit. Dan kedua, Orang-orang yang Dilupakan di Jawa: Kesadaran Palsu Para Sosiolog.

Pada bab pertama, kita diajak untuk menyusuri lorong-lorong teoritik tentang sosiologi ketidaktahuan (sociology of ignorance), yang merupakan kebalikan dari sosiologi pengetahuan (yaitu tentang fakta bahwa orang bisa tahu). Sementara sosiologi ketidaktahuan pun, terbagi pula menjadu dua kecenderungan bahwa; ada ‘yang tidak tahu’ karena benar-benar tidak tahu atau tidak ingin tahu, dan ada juga yang ‘sebetulnya tahu’ namun menyebunyikan pengetahuannya seolah-olah ia memang tidak tahu. Dalam kontekstualisasinya, dua kecenderungan sosiologi ketidaktahuan yang dikemukakan oleh W.F. Wertheim dapat kita jumpai pada pola pikir masyarakat urban, yang enggan untuk mengetahui kebenaran tentang kehidupan rakyat pedesaan. Atau dalam artian, mereka berjarak dengan masyarakat pedesaan, meskipun ia mengetahui bahwa komoditi pangan yang mereka konsumsi, banyak juga yang berasal dari pedesaan. Pola pikir semacam inilah, yang merupakan salah satu kecenderungan pola pikir elitis. Lebih jauh, tanpa menyinggung persoalan struktural, stratifikasi sosial yang ketat, dan pertentangan kelas di dalam desa itu sendiri—pola pikir seseorang, akan mudah dikategorikan sebagai ‘yang elitis’, dan yang tak mampu menyingkap realita-realita yang melingkupi masyarakat pedesaan.

Pada bagian lain dalam bab pertama kali ini, W.F. Wertheim memperkenalkan pula tentang represi atas resonasi kognitif. Hal ini berkaitan dengan represi pengetahuan yang kerap dilakukan oleh para ‘elit’ terhadap massa, yang telah menjadikan massa kian tersubordinat. Pusaran pengetahuan yang surplus dikalangan elit, kerap kali, justru digunakan sebagai alat untuk memonopoli massa. Penjelasan teoritik pada bab pertama ini, bisa dikatakan, merupakan gerbang bagi pembaca, guna membenturkannya dengan tatanan praktik pola pikir elitis, yang menjerat pemikiran manusia. Sementara contoh-contoh riil nya, akan dijabarkan oleh W,F, Wertheim pada bab kedua, sekaligus bab terakhir dalam buku ini.

Pada bab kedua, W.F. Wertheim langsung terjun pada contoh-contoh riil pola pikir elitis, yang diwakilkan oleh beberapa ilmuan melalui karya-karyanya tentang Indonesia. Sebelum memasuki gelanggang tersebut, Wertheim memulainya dengan pendekatan sejarah atas kemunculan dan perkembangan kaum elitis itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan pembedahan atas buku Selo Sumardjan tentang Yogyakarta, lengkap beserta karya pembandingnya, yang cenderung lebih mampu menampilkan realita Yogyakarta secara lebih komprehensif dan sadar kelas. Selanjutnya, datang pembedahan atas buku Clifford Geertz yang berjudul Agicultural Involution dan beserta karya pembandingnya yang dihasilkan oleh H. Ten Dam. Jika Geertz melakukan penelitian di Mojokuto, H.Ten Dam melangsungkan penelitiannya di Cibodas. W.F. Wertheim memandang bahwa kesimpulan Geertz terkait Shared poverty, kurang mengekspresikan realita pedesaan, dibanding buah karya H. Ten Dam. Penelitian di Cibodas tersebut, telah dengan kentara memperlihatkan realita struktur sosial dan mempertontonkan pembedaan secara tajam antara dua buah kategori; para petani independen dan buruh tani.

Komposisi bab kedua, yang coba mengungkap sebuah karya lengkap beserta karya pembandingnya, dapat kita pahami sebagai upaya W.F. Wertheim guna memperlihatkan kenyataan bahwa banyak karya-karya dari seorang ilmuan, masih tersusupi pola pikir ‘elit’. Sehingga, karya tersebut tak benar-benar mampu mengungkap realita secara mendasar, juga menolak kontradiksi-kontradiksi yang tumbuh subur didalamnya, sekaligus menolak adanya kelas sosial yang saling bertentangan. Hal ini dapat dijumpai dalam karya Geertz dan Selo Sumardjan. Dengan pengetahuan keindonesiaan yang luas, W.F. Wertheim telah benar-benar menyajikan sebuah cermin dan teropong untuk melihat ulang realita sosial masyarakat Indonesia secara khusus, dan masyarakat pedesaan secara umum—dengan pendekatan-pendekatan yang tidak elitis, seminimum mungkin melakukan represi disonasi, dan tidak berjarak dari massa rakyat itu sendiri. Meskipun tergolong tipis, buku ini layak kita imajinasikan sebagai alat untuk bisa sama-sama menjadi ‘gelap’, dan melihat kegelapan tanpa kekeliruan pemikiran.

Akhir kata, nukilan dari tulisan W.F. Wertheim dibawah ini, agaknya, masihlah sangat relevan dalam kenyataan hari ini dan cocok sebagai penutup tulisan kali ini. W.F. Wertheim mengatakan;

“Banyak ilmuan sosial Indonesia yang menulis tentang Indonesia…..Mereka menunjukan sangat sedikit perhatian yang nyata terhadap cara hidup dan cara pikir yang dimiliki oleh rakyat kebanyakan yang merupakan mayoritas terbesar dari seluruh populasi Indonesia.” (Wertheim, 2009, hal;67-68)

 Gambar: republikbuku

Leave a comment