Oleh Eko Santoso

Kedatangan bulan Ramadhan memiliki arti penting bagi seluruh umat Islam di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bulan yang dianggap suci dan sekaligus menjadi ajang pertobatan serta permohonan ampun kepada ilahi—sebagai upaya untuk turut pula menyucikan hati, hampir selalu disambut dengan gegap gempita oleh sebagian umat dengan tradisi-tradisi tertentu. Namun di sisi lain, kehadiran Ramadhan secara tidak langsung turut pula menuntut umat dalam menjalankan ibadah puasa selama sebulan sebagai kewajiban yang mutlak. Menahan lapar, haus, syahwat, kesabaran, dll, dari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari harus sebisa mungkin dilakukan.  Hal ini tentu dapat dimengerti, mengingat Puasa di Bulan Ramadhan adalah bagian dari rukun Islam—ini adalah bagian penanda identitas keIslaman.

Di benak umat Islam, Puasa di bulan Ramadhan sekaligus menjadi pijakan dan dasar dalam cita-cita menuju fitrahnya jiwa di hari nan Fitri nanti, yakni Idul Fitri atau lebaran. Maka tidak heran bila datangnya Ramadhan dengan diiringi berbagai keutamaannya, menjadi berkah luar biasa bagi umat Islam untuk semakin dekat dengan Sang Pencipta. Meskipun di sisi lain, tidak menutup kemungkinan jika dalam beberapa benak umat, menjadi keberatan pula jika harus menjalankan puasa dengan beberapa alasan seperti; sakit, haid, perjalanan, dll. Oleh karena itu, sebagai alternatif bagi mereka yang meninggalkan puasa, Allah memberikan keringanan dengan boleh mengganti puasanya di hari lain atau bisa pula dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin).

Perintah puasa sendiri tercermin dalam QS Al-Baqoroh 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Begitu pula dalam ayat-ayat berikutnya, terutama dalam 185: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengangungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”

Diiringi hingar-bingarnya panggung pertelevisian dengan berbagai acara di bulan ramadhan, yang tentunya juga diikuti artis-artis Islami dadakan; munculnya para rohaniawan ala selebritis yang berdakwah di hampir sepanjang waktu dari pagi hingga sore—baik itu di televisi maupun tidak; hadirnya pusat-pusat perbelanjaan yang disulap ala tradisi arab dengan berbagai bentuk makanan, pakaian, dan pernak-pernik yang mengitarinya; hal-hal ini seolah ingin menyuguhkan fakta bahwa kini kita (budaya, identitas, perilaku dan kehidupannya) telah Islami—meskipun perlu diakui bahwa itu iya dan benar secara artifisial.

Namun demikian, ini setidaknya membuat kita mengamini akan arti pentingnya bulan Ramadhan. Tidak hanya berarti penting pada tataran dimensi spiritual—sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas, namun juga berarti penting bagi dimensi kultural, sebagaimana hadirnya fenomena-fenimena tadi. Kultur keislaman kita seolah tergugah dan merasa wajib untuk dihadirkan di bulan nan suci ini, entah karena itu dorongan hasrat pribadi yang dibarengi nurani, ataupun hal lain seperti termakan promosi media, sebatas perwujudan eksistensi belaka, atau sebatas menggugurkan kewajiban karena tuntutan.

Dalam beberapa hal, Ramadhan juga memberikan beberapa fakta menarik yang bila dicermati memiliki makna dalam dimensi sosial. Sebagai contoh, menahan lapar dalam berpuasa dapat dimaknai sebagai percobaan untuk berani mengingat dan menanggung derita saudaranya yang miskin dan serba kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidup. Puasa juga mengajarkan kita untuk hidup disiplin, sederhana, dengan tidak mengejar nafsu duniawi seperti makan, minum, syahwat, dll. Puasa juga mampu menjadi penawar dari keserakahan yang tak tertanggungkan. Selain itu, puasa jika dijalankan dengan benar akan melatih seorang muslim mencapai titik Ihsan, yakni tingkatan spiritual tertinggi dalam Islam. Bahkan dengan kewajiban membayar fidyah bagi mereka yang tidak menjalankan puasa dan membayar zakat fitrah di penghujung puasa, sekaligus menjadi bukti bahwa puasa di bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama, terutama bagi yang serba kekurangan.

Namun di sisi yang lain, tak dapat dipungkiri pula bahwa penyambutan Ramadhan, sering kali juga dibarengi oleh peningkatan budaya konsumtif  yang secara tidak langsung, mengeringkan dimensi spiritual puasa dan jika tidak disadari akan dapat mengubur makna dan hakikat bulan puasa itu sendiri.

Saya pikir, beberapa hal di atas memang sulit untuk kita lepaskan dari bulan  Ramadhan. Lantas kemudian, akankah Ramadhan menjadi penting (lagi) dalam kehidupan kita, jika yang muncul kemudian adalah hasrat konsumerisme? Terutama menyangkut masalah ekonomi di tataran personal, nasional dan bahkan global? Semisal dalam konteks kekinian, yang tak bisa terlepas dari kebutuhan material. Hari ini kita paham bahwa globalisasi menjadi bagian hidup dan kapitalisme beserta para  pelaku modalnya adalah tempat kita mencurahkan uang dan sekaligus menjadi tempat kita bergantung hidup. Lalu apakah Ramadhan turut memberikan relevansi makna dengan hal semacam ini?

Pertanyaan ini penting diajukan, terutama agar dapat menilai sejauh mana budaya konsumtif kita selama bulan Ramadhan dan apakah hal ini turut memberikan signifikansi dalam lingkup yang lebih luas? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini, maka kita perlu melihat indikasi dan relasi yang terkoneksi dalam neraca perdagangan nasional? Jangan-jangan dengan puasa selama bulan Ramadhan, neraca perdangan kita mengalami surplus—yang artinya itu sangat baik—karena dengan penerapan kesederhanaan dan berkurangnya konsumsi masyarakat (selama puasa kita hanya makan dua kali dari yang sebelumnya tiga kali dalam keseharian yang normal), serta adanya Tunjangan Hari Raya (THR), akan berdampak pada harga barang dalam negeri yang turun akibat permintaan yang berkurang dan daya beli masyarakat meningkat. Sementara di sisi yang lain, dengan berharap pada ekspor kita yang tetap berjalan normal, maka terjadi passive income di dalam masyarakat yang itu berarti, tingkat kesejahteraan hidup kita memang meningkat?

Atau justru sebaliknya, hilangnya makna mendasar dari puasa itu sendiri, yang pada akhirnya tingkat konsumsi tak terkendali dan berdampak pada permintaan barang berlebih, sehingga harga barang melejit pula. Bersamaan dengan semakin ramainya pusat perbelanjaan yang semakin memperkaya para pemodal, ditambah dengan adanya permainan harga dengan membuat kelangkaan barang, sehingga pedagang dan pemodal mendapat laba yang berlebih. Bukan pula makna kepedulian sosial yang di dapat, namun egoisme dalam hasrat berlebihan kala berbuka, berbusana, dan lain-lain  demi mencapai kepuasaan dan kesenangan diri. Bila yang kita temui demikian—adanya kelangkaan barang akibat distribusi dan penimbunan, panic buying, spekulasi, hingga berdampak pada lonjakan harga barang besar-besaran—pada setiap harga barang-barang kebutuhan pokok semacam telur, daging, gula pasir, minyak goreng, sayur-mayur, dll—maka mau tidak mau akan mendesak terjadinya impor barang berlebih kala kebutuhan dalam negeri berkurang. Atau seperti biasanya, mendadak akan banyak program Operasi Pasar Murah oleh pemerintah untuk menjangkau rakyat miskin. Dampak terjauhnya,  daya beli masyarakat akan semakin anjlok akibat kebutuhan pokok yang melejit, sehingga memicu terjadinya inflasi nasional.

Lantas bagaimana fakta yang kita alami sesungguhnya selama bulan Ramadhan? Pada Maret 2018, BPS merilis angka inflasi sebesar 0,2%. Adapun inflasi menurut tahun kalender 2018 mencapai 0,99% dan inflasi tahun ke tahun 3,40%. Sementara itu, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), merilis bahwa harga bawang merah naik 19,4%, daging ayam 5,21% , daging sapi 0,08%, telur ayam 7,1% dan minyak goreng 0,4%. Survei yang dilakukan Bank Indonesia mengungkapkan bahwa tingkat inflasi pada pekan ketiga di bulan Mei 2017, mengalami peningkatan dari pekan dan bulan sebelumnya. Bila pada minggu kedua Mei 2017 inflasi di kisaran angka 0,27 persen, memasuki bulan Ramadhan, inflasi diperkiran meningkat menjadi 0,37-0,42 persen. Hal ini menurut BI disebabkan karena adanya kenaikan harga kebutuhan pokok dan tingkat konsumsi masyarakat yang bakal meningkat selama bulan Ramadhan.

Lengkapnya, Gubernur  BI, Agus Martowardjo menyatakan; “Ada penyebab dari pasokan mungkin juga penimbunan barang memasuki Ramadhan, permintaan tinggi dari masyarakat”. Dengan adanya peningkatan inflasi memasuki bulan Ramadhan hingga nanti akhir lebaran, Agus memperkirakan Inflasi tahun ini akan mengalami peningkatan hingga 4-5 persen. Inflasi ini akan meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 3,02 persen. Dan yang tak kalah penting adalah diperkirakan juga bahwa akan ada 18 triliun perputaran uang hanya dalam waktu bulan Ramadhan nanti. Hal ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dengan demikian, terlihat jelas betapa tingkat konsumsi masyarakat di bulan Ramadhan begitu luar biasa (detik.com 14/05/2018).

Fakta ini semakin memprihatinkan mengingat lonjakan harga kebutuhan pokok saat ini, seolah menjadi bahaya laten yang amat tragis bagi perekonomian nasional. Harga pangan berkontribusi sekitar 50 persen terhadap laju inflasi dan 73,5 persen terhadap garis kemiskinan. Maka, jika gejolak harga pangan gagal diredam, masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan makin terperosok. Dan bagi mereka yang berada satu strip di atas garis kemiskinan, akan menjadi miskin pula akibat daya beli yang semakin turun. Mengingat kita masih tetap saja melakukan impor bahan pangan melalui dana APBN sejumlah triliunan rupiah, maka gejolak harga pangan akan berkorelasi langsung dengan fluktuasi nilai tukar dan cadangan devisa (breakingnews.co.id 15/05/2018).

Tapi bukankah menaiknya harga pangan berdampak pada kesejahteraan bagi petani? Fakta nampaknya berkata lain. Pola pikir yang pragmatis yang didukung dengan budaya kita yang terus mengedepankan impor sebagai solusi akhir dan instan dengan menganggap persoalan pangan hanyalah hal distribusi dan seolah terlepas dari produksi, pada akhirnya membuat petani kurang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Alih-alih memberikan biaya subsidi bagi basis produk pertanian—sebagaimana Amerika Serikat misalnya yang mampu menekan cost production sehingga hasil produk pertaniannya berharga murah dan dengan cara itu produk dalam negeri Amerika mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bahkan sekarang mulai mengekspor produk-produk pertanian mereka—yang ada malah biaya produksi berbagai produk pertanian berada pada titik high cost seperti hari ini, sehingga harga hasil pertanian kita lebih mahal dari produk impor.

Program Kementrian Pertanian yang sedang berupaya menciptakan bibit, pupuk dan peralatan pertanian modern murah, dengan tujuan dapat dijangkau para petani kecil nampak tak pernah terealisasi sebagaimana mestinya—kalau toh ada, biasanya berhenti pada tataran percobaan dan tak pernah dipasarkan secara masal dengan harga yang telah tersubsidi sebagaimana setara dengan kemampuan daya beli petani-petani kita yang umumnya adalah petani kecil. Maka dari itu, produksi pertanian kita seolah tak pernah mencapai level maksimal dengan efisiensi dan efektifitas biaya maupun tenaga yang dikeluarkan.

Dengan demikian, kenaikan bahan pangan pada saat menjelang Ramadhan hingga lebaran tidak membuahkan apa-apa bagi petani, karena barang-barang yang beredar pada dasarnya di dominasi oleh barang impor yang lebih murah,yang membuat produk pertanian kita kalah bersaing. Alhasil, mereka—para petani tanah air,  tetap terperangkap dalam jurang kemiskinan. Buktinya, kantong-kantong kemiskinan masih terkonsentrasi di pedesaan yang notabenenya berbasis petani. Dari 28,51 juta orang (11,13 persen) penduduk miskin di Indonesia per September 2016, sekitar 17, 89 juta orang atau 63 persen tinggal di pedesaan. Maka betapa sangat tertindasnya petani manakala impor pangan terus berlangsung. Di tujuh komoditas impor saja—beras, Jagung, gandum, kedelai, susu, gula dan daging, kita mengalami defisit rata-rata US$ 10 miliar per tahun (beritasatu.com).

Sekalipun hal ini bukan fenomena baru, bahwa kenaikan harga barang pada saat mendekati bulan Ramadhan hingga lebaran, adalah akibat dari adanya pihak-pihak pedagang yang ingin bermain curang dengan melakukan penimbunan barang—mengingat permintaan yang memang meningkat karena perilaku konsumtif, nyatanya untuk urusan yang sudah ada dasar hukumnya jelas pemerintah tidak mampu menyikapinya secara tegas. Padahal mengenai kelangkaan barang dan penimbunan, dengan jelas Islam melarang praktik semacam ini. Begitu pula dengan hukum positif yang berlaku di negeri ini. Dengan tegas, Islam menyatakan haram terhadap penimbunan barang yang menyebabkan kelangkaan dengan tujuan mengambil laba yang berlimpah. Rasullullah sendiri pernah meriwayatkan hadits terkait perilaku penimbunan barang semacam ini: “Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa”, demikian hadits yang diriwayat Muslim dan Abu Daud.

Selain itu, Rasulullah melalui hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Al Bazzaz, mengungkapkan jika orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari, maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut. Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang. Oleh karena itu, menjadi begitu ironis manakala di bulan yang suci, perilaku semacam ini tetap dipraktekkan demi mencari laba, baik itu oleh pedagang Muslim ataupun non Muslim. Belum lagi ditambah pihak pemerintah dan aparat yang tidak tegas menindak hal semacam ini.

Persoalan inflasi yang besar di bulan Ramadhan, di dukung oleh beberapa faktor seperti: kelangkaan barang akibat distribusi dan penimbunan, panic buying, spekulasi hingga berdampak pada lonjakan harga barang besar-besaran, dan terutama adalah masalah budaya konsumerisme yang berlebih; harus di atasi sesegera mungkin. Adanya OP dan impor tak akan pernah memberi perubahan signifikan dan justru akan menjadikan kita semakin romantis dengan kata inflasi. Masalah produksi harus menjadi perhatian serius agar petani mengalami peningkatan produksi. Budaya membeli dan mengimpor hanya akan membuat kita menjadi negara yang dikibuli oleh para kapitalis dan korporat global. Momentum Ramadhan dan hakikat puasa harus dimaknai secara mendalam dengan tidak menganggap Ramadhan sebagai supermarket, yang melegalkan kita membeli apapun dan selagi ada diskon besar, yang membuat kita berpikiran bahwa semakin banyak membeli, kita akan mendapat bonus besar pula.

Memaknai Ramadhan sebagai formalitas ibadah yang hanya berdimensi Illahiah oleh sebagian orang, menurut saya perlu segera dibongkar. Pemaknaan semacam ini yang tidak melihat dimensi sosial yang terkandung dalam Ramadhan, cenderung akan membuat orang menjalankan puasa dengan kalkulasi dan imperatif sehingga hilangnya dimensi spiritualisme Islam itu sendiri. Dimensi sosial Islam yang didalamnya melarang kita dan mengharamkan untuk menimbun barang dan harta, mengharamkan berbuat riba, mengharamkan monopoli, dan menganjurkan berinfak maupun sedekah harus menjadi roh yang ditanam dalam setiap sanubari umat agar kecenderungan budaya konsumerisme dapat terkikis dengan sendirinya.

Kecendrungan menguatnya neoliberalisme dan kapitalisme—dengan ditandai adanya konsentrasi kekayaan hanya disegelintir orang, dengan membawa nafsu keserakahan dan menghilangkan konsep keadilan hingga berbuah ketimpangan dan kerusakan, secara tidak langsung menuntut umat untuk turut pula menjawab tantangan ini. Jadi Ramadhan dan puasa hendaknya menjadi  pijakan awal bagi kita, untuk melibatkan diri menentang arus kapitalisme ini dengan berupaya dalam membangun perubahan, menciptakan keadilan, dan mengkikis ketimpangan. Dengan puasa, Islam hendaknya menyumbang kritik moral terhadap kapitalisme atas keserakahan dan ketimpangan tersebut—sebagaimana kala marxis mengkritiknya secara struktural terhadap kapitalisme.

Sebagaimana tulisan Roy Murtadho dalam Islam Bergerak berjudul “Puasa dan Semangat anti Kapitalisme”, yang paling penting adalah menempatkan puasa dan Ramadhan sebagai medan bagi terbitnya nilai spiritual (qimah ruhaniyah), nilai kesadaran (qimah syu’uriyah), nilai kemanusian (qimah insaniyah) setiap muslim yang menjalankan dan mengangungkannya. Tanpa itu, puasa hanya sebatas ritus menahan lapar dan dahaga yang dicerabut dimensi sosialnya.

Kita harus sadar bahwa adanya konsentrasi kekayaan di segelintir orang, adanya rakyat miskin kelaparan yang meninggal, adanya rakyat miskin yang hidup mengemis dan tinggal di kolong jembatan, banyak keluarga tidak memiliki rumah, petani tidak memiliki lahan, harga hasil produk petani yang rendah, adalah sebuah kondisi yang terjadi tidak dengan sendirinya. Kita harus sadar bahwa hal semacam ini akibat oleh sistem kapitalisme yang telah membudaya, yang tak hanya dilakukan oleh pemodal asing, namun juga dilakukan oleh para borjuis nasional yang memakan hak saudara-sebangsanya. Kapitalisme telah memaksakan mentalitas memperoleh keuntungan dengan cara apapun dan mempropaganda orang lain untuk terus berperilaku konsumsif.

Puasa adalah jalan lain bagi kita untuk melawan kapitalisme. Atau dalam artian, umat Islam dalam berpuasa harus menunjukan sikap minimalis dan tidak mengkonsumsi barang-barang kebutuhan pokok secara berlebihan. Secara lebih radikal ini adalah jalan dalam melawan kapitalisme dengan cara memboikot bahkan dengan berpuasa untuk tidak mengkonsumsi produk kapitalisme yang menghisab keringat kaum buruh tani, pabrik, dan kaum tertindas lainnya.

Daftar Bacaan:

QS. 2: 183, 184, 185, 187

Ali Engineer, Asghar. 2009. Islam dan Teologi pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Murtadho, Roy. “Puasa dan Semangat anti Kapitalisme” (Islambergerak.com).

Sudarto. 2014. Wacana Islam Progresif. Yogyakarta: IRCiSoD.

http://www.detik.com

http://www.breakingnews.co.id

http://www.beritasatu.com

Leave a comment