Oleh Eko Santoso
Kalimat ini bukanlah puisi
Bukan pula prosa kawan
Kalimat ini hanyalah bualan para pejuang
Kalimat yang mungkin tak bermakna bagi siapa-siapa
Arena kini telah kita pilih
Kegagalan kita kegagalan satu generasi
Kegagalan generasi kegagalan zaman
Dan kini kita bertaruh dalam niatan bersama
Kita temukan pemberontakan
Pada kebekuan dan kebiasaan
Pada kegandaan dalam menilai
Pada ketertutupan dalam berpendapat
Pada formalisme dalam institusi
Keadilan terasa hanya hak penguasa
Keadilan terasa gajah yang tak mampu diangkat rakyat jelata
Keadilan terasa bualan sandiwara dalam persidangan
Keadilan terasa begitu sempurna dalam benak akademisi dan kacung-kacung birokrasi dalam persekongkolan antek kapitalis dan borjuis
Keadilan adalah milik mereka yang tak tahu kemana mengadu,
Keadilan adalah milik mereka, yang kau cabut bidik misinya, yang kau bungkam suaranya, yang kau ancam dikeluarkan, yang kau ancam orang tuanya, yang kau kebiri nuraninya, yang kau bunuh ke-kritisannya.
Begitulah pemaknaanya
Kebebasan tak lebih dari sebuah mutiara bahasa
Menjadi pion-pion dalam papan catur pak fatur
Menjadi budak misi yang siap mengabdi
Menjadi dosen yang harus berbakti dalam borgol birokrasi
Suara lantang, dianggap pengacau kawan
Suara kebenaran, dianggap pengumbar aib
Bertindak dianggap pemberontak
Berdiskusi, dianggap antek komunis
Mengkritiklah, Mengkritiklah, Mengkritiklah asal manis, semanis saat kau merayu meminta senggama dengan istrimu di bulan madu
*Puisi ini dibacakan dalam acara “panggung budaya untuk kebebasan berekspresi” yang dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2016, di Universitas Negeri Semarang. Acara ini dihadiri pula teman-teman dari LBH Semarang, AMP Semarang, Spartakus, Sebumi, dan organ-perorangan pro-demokrasi lainya. Menurut rencana, acara ini akan berlangsung di simpang 7, Universitas Negeri Semarang. Oleh sebab hujan dan beberapa penyebab lainya, acara ini berpindah tempat di lorong c7, FIS Unnes.
Gambar: Kalamkopi